kukabarkan cerita pada kotamu yang kekeringan.
hujan menyambangi kotaku beberapa hari belakangan. mungkin membawa pesan atau mampir setelah jalan yang melelahkan. bisa juga hanya ingin menyebarkan kantong kantong kerinduan. seperti yang sekarang kamu rasakan.
seharusnya semua menyenangkan. iyah, seharusnya. karena ingatkah kamu akan kenangan yang kita simpan. ketika kita belum menganal malu, belum tau tentang tabu, dan hanya berkolor pendek memaguti tetes tetes air yang jatuh dari talang seng di beranda rumah tua. pada sisa sisa hujan di sebuah siang. berlompat bergerak tak tentu arah, dan kata menyebutnya tarian hujan. sambil menggigil kedinginan, pantas saja, karena kita bertelanjang dada. tapi tak mengapa, toh itu sudah membuat kita bersuka cita bukan? membuat iri orang orang dewasa yang melihat dari sudut mata. sebelum akhirnya omelan omelan meluncur dari bibir mereka. tak pernah kita paham, selain itu hanya bentuk kecerewetan, banyak kata.
setidaknya itulah yang aku pikirkan tentang mereka. kekhawatiran yang berlebihan. bukankah waktu itu kita adalah anak anak perkasa dengan semangat yang membara. tentu saja masih kuingat betapa tak berdayanya aku ketika guru SD kita menyuruhku berlari mengelilingi lapangan bola. tentu saja. karena pada saat itu matahari sedang melototi dan menyengatku dengan panasnya. berbeda dengan hujan, dia seperti menyiramkan energi kerinduan yang mampu membuat kita bertahan atas dinginnya siang. tak usah hiraukan hardikan ibu kita, yang ada kita hanya berpindah dari satu talang seng ke talang seng lainnya untuk menikmati grojogan menyiram muka kita. seperti sebuah tamparan. menyakitkan, tetapi semakin sering terulang, semakin nikmat rasanya.
tapi kini, semua tak lagi sama. jangankan berkolor pendek bertelanjang dada, bahkan pernah suatu kali, ketika dalam perjalanan dari kantorku ke kamar hujan mencumbu, dan kubiarkan tetes tetes airnya membelai pelan, sampai akhirnya justru menampar kasar, seperti menampar malu. tapi apa yang kudapatkan disitu. tak lagi ada keriangan, kecuali rentetan mata memandang keheranan. seperti tuduhan, atas dosadosa yang aku lakukan. tatapan menusuk, membuatku tertunduk. jangankan tertawa tawa riang, sambil membiarkan air hujan ikutan tertelan, bahkan untuk menatap balik sambil mengajak mereka bermain hujanpun tak mampu kulakukan. mungkin disangkanya aku setengah gila. pada cuaca sedingin es yang mampu membuat tulang membeku, dan pada saat orang lain lebih memilih bersembunyi dibalik mantel atau di emperan toko, aku justru memilih menerjang derasnya hujan. tak lain dan tak bukan karena aku begitu merindukanmu.
aku tahu tak seharusnya aku mengeluh, ketika aku tau kamu disitu bahkan tak pernah lagi mengecap manisnya kenangan yang tersampaikan oleh hujan. mungkin bahkan rindumu sudah menjadi kaku. kini aku tau, kenapa orang orang dewasa melirik kita dari sudut matanya. mungkin karena perhatian, kekhawatiran, tapi mungkin juga karena cemburu. pada kepolosan yang telah digerogoti waktu.
ah, mungkin benar yang dikatakan seseorang, bahwa kesepian bukan soal tak ada teman. tapi bisa juga ketika hujan datang menyambang, dan pikiran sedang menerawang. tak berpijak pada kenyataan, melainkan terbang bersama kenangan.
**catatan kerinduan, untuk teman berbagi hujan.
5 comments:
ahh...hujan!
selalu menyenangkan yah...bahkan saat banjir pun masih dapat terlihat senyum senyum yang polos dan tawa anak anak...
aiihh, hujan hujan... eksporkan hujan kemari, tiga matahari aku tak pernah merasakan kuyub,
wiiiih...bahasanya bikin merinding, euy. kapan bukunya terbit, wi?
"tapi kini, semua tak lagi sama. jangankan berkolor pendek bertelanjang dada,..."
*membayangkan ada yang bertelanjang dada di luar bermain hujan, wow! :P
tapi hujan yang terjadi belakanganini lebih sering mengkhawatirkan....
Post a Comment