Friday, December 06, 2013

Mesin Waktu ke(m)Bali

Akhir bulan lalu, tidak terasa empat tahun sudah saya tinggal di Jakarta setelah meninggalkan Bali. Dan selama 4 tahun itu, baru sekali saya mengunjungi Bali lagi. Biasanya di bulan - bulan ini ingatan saya tentang Bali berkali lipat dari bulan biasanya. Melankolis :D

Tinggal di Jakarta ternyata tak seburuk yang saya sangka sebelumnya. Disini banyak tempat - tempat menyenangkan untuk didatangi, bahkan jika beruntung beberapa tempat itu tak jauh beda dengan Bali. Jika sedang melintas di beberapa tempat ini, saya bahkan kadang merasa sedang di Bali.

Pertama, Kemang, yang pada jam setelah macet sangat mirip dengan Legian. Deretan artshop berdinding kaca, beberapa pohon kamboja yang berdiri di sisi jalan, bangku - bangku dan trotoar lebar untuk berjalan. Dulu sewaktu tinggal di Mampang, kadang sengaja kesini hanya untuk nostalgia. Menyenangkan!

Kalau rindu suasanya Seminyak, bisa ke Jalan Jaksa di sekitaran Jakarta Pusat. Konon, jalan ini terkenal untuk para backpacker, sayangnya sangat jarang saya kesini karena lokasinya yang berada di luar trayek dan errr...untuk kesini harus melewati Bunderan HI yang macet setiap hari.

Sebenarnya ada hal lain yang bisa membawa saya sejenak seolah berada di Bali, yakni spa. Hohoho. Spa buat saya adalah Bali, apalagi memang ada beberapa salon di Jakarta yang mempunyai standard spa seperti di Bali, salah satunya Martha Tilaar Spa.

Beberapa waktu lalu ketika serangan kangen Bali melanda, sengaja saya manfaatkan kesempatan madol dari kantor untuk ke gerai Martha Tilaar yang ngga jauh dari kantor *grin*, di sekitaran Gandaria. Tinggal 10 menit jalan kaki, rasanya sudah sampai ke Bali, hahaha.

Sebenarnya di gerai yang ini, interiornya lebih mirip spa yang di Yogyakarta. Unsur Jawa di interiornya kental sekali, dengan lampu2 antik gantung dan keramik yang saya kira dipesan di Tegel Kunci. Untuk interior di dalam ruanganpun menggunakan kain-kain batik Jawa dan lurik (kalau tidak salah) , dan kursi-kursi bulat khas Jawa Tengah. Mungkin ini pula yang menjadikan gerai Martha Tilaar di Gandaria ini instead of vintage, jadi berasa tua. Hahaha.




Untuk menetralisir untuk Jawanya, kemarin saya ambil Candle Massage yang Exotic Frangipani. Yup, kamboja adalah hal lain yang Bali-banget! Kalau di daerah lain kamboja identik dengan kuburan, di Bali kamboja bisa menjadi bunga yang ada dimana saja. Setiap ke Salon Spa, saya memang lebih memilih treatment yang lebih banyak pijitannya, karena memang lebih suka dipijit daripada treatment2 cantik lainnya. Rasanya lebih puas! Hahaha.
 
Candle Massage ini memang menggunakan lilin yang sudah dicairkan dan massage Oil. Jangan bayangkan lilin panas disiramin ke tubuh ya, karena dituangnya ketika sudah agak dingin kok! Lama treatment ini kurang lebih 90 menit, tapi kalau bertemu therapist yang oke, bisa dapat bonus. Hahaha. Seperti pas saya kesana, di Mbak therapistnya, Mbak Santi, yang berasal dari Ende, ternyata pernah tinggal di Bali selama hampir 3 bulan untuk di trainning, jadilah kita ngobrol selama treatment sampe hampir...2 jam! Jadi konon Martha Tilaar ini memberikan pelatihan semua therapist nya dengan karantina di Bali (di daerah Tuban, ngga jauh dr tempat saya kerja sebelumnya)  sampai mereka lulus dan mempunyai standard service yang sama.  Karena itu kalau dari segi treatment, di Gandaria maupun di gerai lain sama. Tidak akan mengecewakan!

Treatment Candle Massage ini memang hanya terdiri dari pijatan dan berendam, jadi waktu 90 menit memang benar2 maksimal untuk melakukan hal itu. Massagenya menggunakan teknik traditional massage, jadi pijatan-pijatannya pun berasa. Si Mbak Santi ini pinter meluruskan otot2 yang tegang, terutama bagian punggung dan leher karena kebanyakan di depan komputer :D Bedanya dengan si mbok-mbok pijat di rumah, setelahnya kulit saya jadi lembut dan wangiiiiii....

Kalau ngga suka dengan treatment pijet-pijet yang memang agak hardcore ini, bisalah memilih treatment2 cantik lainnya. Atau kalau hanya mau potong rambut atau manicure pedicure pun di Martha Tilaar ini juga bisa. Untuk harga Candle Massage kemarin sama dengan treatment Spa di Bali, worth it! Untuk harga treatment lain bisa juga tanya langsung di Twitter mereka @Spa_MT , sangat responsif kok!

Untuk saya yang berkantor di Gandaria, salon ini lumayan efektif lah jadi tempat madol, apalagi jika sedang kangen Bali seperti saat ini :')


Wednesday, October 30, 2013

membincang perbedaan

pagi ini berdebat dengan suami, gara-garanya membaca timeline yang ada twitpic sebuah acara "Jomblo Berkah Tanpa Syiah".

Aku bilang "acaranya di masjid UI, ngapain juga kampus UI ngurusin hal ginian?"

Lalu suami bilang,"syiah itu memang salah sih, cuman caranya ya ngga harus gitu (pakai kekerasan) untuk mengarahkannya ke sesuatu yg lebih benar. "

Dan dari situlah perdebatan dimulai. Suami yang lebih paham soal agama, menjelaskan panjang lebar kenapa salah yada yada yada. Lalu merembet ke insiden gereja di bogor yang dibongkar paksa karena didirikan secara ilegal. lalu merembet ke banyak hal. Suami saya orangnya keren, deh! Seringkali saya takjub dengan pengetahuannya akan banyak hal, termasuk soalan hukum-hukum islam dan lain2. (oh, tapi dia tidak tahu apa itu "meme". Ha! Kali ini saya merasa keren :D)

Tapi, dia sedang berbicara dengan saya, orang yang pemahaman agama Islamnya cethek. Saya tidak tahu apa yang membedakan muhammadiyah dan NU, lalu islam kejawen atau islam2 hasil asimiliasi budaya lainnya. Saya juga tidak paham apa itu Syiah dan Sunny. Saya bertanya, "lalu mereka sholat? kitab sucinya alquran? nabinya mohammad?" Jika begitu...lalu dimana masalahnya? See, se-cethek itulah saya melihat sesuatu bernama agama.

Saya bertanya, "kalau Syiah itu diperangi, kenapa ngga sekalian perangi pemeluk agama buddha, kristen, hindu dan atheis sekalian?" Nah kan, makin kelihatan sampai dimana pemahaman saya?

Lalu dia mulai geregetan menjelaskan ke saya yang bebal soalan beginian. Suami adalah orang dengan stock kesabaran yang kayaknya sangat banyak pula (tapi seringkali kehabisan ketika berurusan dengan kebebalan saya :D), dia masih berpijak pada fakta, peraturan dan hukum-hukum yang ada, dia masih sangat waras untuk menggunakan semua itu dalam argumennya. Meski tetap tidak membenarkan tindakan kekerasan apapun unt memaksakan kebenaran ke pihak lain. Lagi2 dia keren!

Tapi asal muasal perdebatan kami bukanlah berita tentang kekerasan agama, melainkan sebuah poster layaknya poster seminar di kampus. Dimananya ada kekerasan? Tidak ada, tapi seminar itu memprovokasi untuk membenci sebuah keyakinan tertentu. Tapi saya membayangkan mengganti kata Syiah itu dengan kristen, buddha, hindu, atheis, konghuchu dan agama-agama lainnya.

Karena di pikiran saya itu bukan soalan hukum-hukum yang harus ditegakkan. Bukan soalan yang benar dan yang salah. (kalau membincang ini, saya yakin saya pun salah. Islam tapi ngga sepenuhnya memahami Islam ).

Menurut saya, ini adalah soalan pelanggaran terhadap hak keimanan/keyakinan orang lain, terlepas apakah keimanan/keyakinan tersebut salah (menurut orang lainnya). Saya seringkali berfikir begini, keyakinan kita terhadap sang pencipta itu adalah hubungan vertikal dalam ruang yang sangat personal. Sebuah ranah yang seyogyanya tidak dimasuki dengan paksa oleh orang lain, kecuali memang kita membukakan pintunya dan berkata, misalnya "tolong ajari aku beribadah yang baik." Karena saya tidak suka ketika seseorang yang tidak saya persilahkan masuk kesitu tiba-tiba berkata, "bagaimana kalau kamu ikut saya bersembahyang di gereja?"

Ruangan itu, seharusnya dipisahkan dengan urusan duniawi. Syukur-syukur jika ruangan itu bisa memantulkan vibrant yang membuat urusan duniawi lebih baik. Tapi, jangan sampai karena ruangan itu memenuhi seluruh hati kita, kemudian kita mencampuradukkan hubungan manusia-manusia dengan keyakinan mereka pada tuhannya. Tak perlulah kita dobrak paksa untuk masuk ke area itu dan melanggar hak keimanan orang lain. Toh, masing - masing orang pastilah merasa apa yang di-imani benar, bukan? Biarlah area itu tetap begitu, tetap benar karena iman bagi yang meyakininya.

Dan, tak bisakah kita memakai ukuran lain untuk menimbang interaksi duniawi, manusia dengan manusia lainnya, atau manusia dengan sekitarnya. Tak bisakah kita memakai ukuran bernama kebaikan saja? atau cinta kasih? atau, kemerdekaan personal tanpa harus melanggar kemerdekaan lainnya?

Kala berkata demikian, saya membayangkan tuhan sedang tertawa-tawa, melihat manusia yang diciptakannya berbeda-beda saling ribut menganggap dirinya paling benar di antara lainnya.

Tuesday, September 03, 2013

Eka, Kayla dan Labirin Rasa


Ini prestasi!

Saya akhirnya bisa menyelesaikan 1 buku hingga lembar terakhir dalam 3 hari, setelah bertahun-tahun. Hahaha. Dulu sebulan bisa membaca 5 - 9 buku, tapi setelah menikah dan punya anak, sepertinya hanya bisa menyelesaikan maksimal 1/3 buku, bahkan banyak buku yang masih rapi dibungkus plastik. (Maafkan teman2 yg sudah berbaik hati membelikan buku :D)


Setelah bulan lalu ada rak buku baru, saya jadi tertarik membaca lagi. Maklum, sebelumnya buku2 hanya ditumpuk tak beraturan di lemari yang sudah reyot, jadi seringnya saya lupa punya buku apa yang belum selesai dibaca.

Sebenarnya prestasi menyelesaikan 1 buku itu juga didorong karena yang nulis teman saya sih, Eka Situmorang. :D Saya mengenalnya beberapa tahun lalu. Pertama kali bertemu kalau ngga salah pas Pesta Blogger 2009, lanjut di Twitter dan kopdar2 dengan komunitas. Perempuan manis yang mempunyai aura positive, membuat banyak teman-temannya betah, termasuk saya. Energi senangnya meletup-letup, kalaupun dia tidak sedang senang, atau sedang sebal dengan orang lain dan nerocos mengutarakan kekesalan, tetap enak saja didengarnya.


Mau tidak mau saya selalu membayangkan Kayla, tokoh dalam novel Labirin Rasa yang dia tulis, adalah dia. Karena saya mengenal Eka setelah dia bekerja di hotel, jadi saya asumsikan dia yang saya kenal adalah Kayla yang telah bermetamorfosa. Saya tidak tahu apakah Eka dulu secuek, segendut, sejerawatan dan seklumus Kayla. :D

Jadi, Labirin Rasa ini menceritakan tentang Kayla, cewe tomboy, bercelana jeans, cuek, ceplas ceplos, dan ngga banget, yang karena obsesinya pada lelaki cinta pertamanya, Ruben, melakukan perjalanan ke beberapa kota untuk mengobati sakit hati, untuk mencari makna hidup, dan juga akhirnya untuk patah hati lagi. Perjalanan - perjalanan yang justru akhirnya memberikan hal yang lebih dari tujuan awal.

Dari segi tokoh, sekali lagi, susah memisahkan Eka & Kayla. Mungkin memang lebih mudah bagi penulis untuk menuliskan cerita yang pernah dialami atau disaksikan. Meski belum tentu juga cerita tentang Kayla adalah cerita tentang Eka. Yang paling menonjol sebenarnya adalah ketika Eka menggambarkan seksualitas yang ada di pikiran Kayla ketika bertemu beberapa lelaki. Kayla yang digambarkan sebagai perempuan cuek dan masih sangat awam terhadap sebuah hubungan, kayaknya kurang pas ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, yang terpikirkan adalah masculinity. Dulu ketika saya masih polos dan belum pernah ciuman, kayaknya kalau lihat cowok ganteng ngga ada hasrat, selain "oh..cowo itu ganteng. Kayaknya enak nih kalau bisa dipeluk." Nah, untuk ukuran Kayla pada bab-bab awal, kayaknya pikiran2 yang menjurus pada sexuality sepertinya terlalu expert.  Itu Eka banget! Hahaha.

Dari plot ceritanya, saya suka! Sangat masuk akal seseorang yang belum pernah jatuh cinta pada usia se-Kayla, akan terobsesi pada cinta pertamanya. Kalau Kayla masih SD dan terobsesi pada cinta pertama, itu agak lebay. Karena biasanya jatuh cinta saat usia - usia ABG, seringnya adalah cinta monyet yang akan menjadi kekonyolan dan kenangan lucu (ya, kecuali kalau hubungannya ditindaklanjuti ketika sudah dewasa). Obsesi Kayla pada Ruben selama bertahun-tahun hingga dia melakukan banyak hal yang tidak masuk akal, adalah wajar. Eka menghadirkan cerita yang membuat pembacanya kembali bernostalgi, mungkin menghadirkan sedikit sengatan karena kenangan. Jika pembaca tidak pernah mengalami patah hati pun, Labirin Rasa tetap akan menghadirkan cerita yang menghanyutkan. Yang saya sukai lagi, Eka membuat happy ending yang masuk akal. Tidak selalu bahagia itu jika cerita berakhir dengan dua tokoh utama bersama selamanya. Lebih bisa masuk logika ketika Eka menutup ceritanya dengan keputusan Kayla bersama orang lain setelah apa yang dilakukan Ruben. Bukankah ini yang harus disadari oleh beberapa orang yang tidak bisa move on,  bahwa akan ada waktu dimana enough is enough. Dunia masih berputar dan masih banyak pintu kebahagiaan lain meski kita patah hati, meski kita dikhianati.

Saya juga suka cerita ketika Kayla, yang ber-IP satu koma, karena sakit hati menyibukkan diri dengan belajar hingga bisa lulus dengan IP 3koma. Ini agak-agak dongeng mungkin bagi sebagian orang. Tapi untuk orang lain, ini adalah hal yang mungkin. Kita bisa membalikkan kesedihan itu menjadi energi untuk melakukan hal-hal positif. Energi tidak menghilang, dia hanya berubah bentuk. Dan dalam Labirin Rasa, Eka berusaha mengungkapkan itu, entah disadari atau tidak.

Yang sebenarnya agak mengganjal buat saya di plot cerita adalah banyaknya tempat yang dikunjungi Kayla dalam waktu yang singkat. Darimana dia mendapatkan uang untuk itu? Untuk Kayla yg anak kuliah belum beres, kayaknya agak ngga masuk akal bisa jalan2 ke Yogya, Malang (oke, 2 ini bisa dijangkau dg kereta/bis murah), Bali dan Lombok. Kayla cewek mandiri, tidak mungkin dia menggunakan uang orang tuanya untuk jalan2 (meski menginap di saudara lho ya). Lalu Makassar, Eka tidak detil menceritakan bagaimana Kayla kembali setelah dia kecewa dengan Cynthia. Saya juga tak melihat alasan jelas kenapa dia memilih New Zaeland sebagai tempat bulan madu. Saya pikir Kayla yg petualang, dan Patar yang pemuda pasar, terlepas dari kemampuan finansial, tidak akan memilih tempat yang mahal untuk bulan madu. Eka seperti ingin menjejalkan kota - kota dan negara ( New Zaeland ) yang mungkin pernah dia kunjungi dalam Labirin Rasa. Kegilaan seseorang yang patah hati memang memungkinkan dia melakukan apapun, tapi pada faktanya perjalanan untuk penyembuhan seringkali harus dilalaui sendiri (seperti Kayla di bab2 awal), tidak melulu harus menyibukkan diri dengan berwisata keliling kota, atau berkenalan dan flirting dengan orang-orang baru. Seringkali pengalaman hidup dipetik justru tidak soal percintaan. Human interaction , human - nature interaction dan hal-hal lain seringkali menjadi obat yang lebih manjur untuk patah hati.

Meski setiap kota diceritakan dengan detil, tapi tergesa-gesa. Seperti ada kesan dia ingin merangkum ingatan-ingatan akan kota-kota itu dalam satu buku. Saya berharap, dia akan menulis buku lagi, lalu fokus pada 1 - 3 kota untuk satu cerita. Mengeksplore kota itu, atau mengeksplore si tokoh lebih dalam.

Untuk editorial, saya hanya menyadari satu halaman yang parah habis. Di halaman 256, dimana harusnya Kayla berdialog dengan Ruben, malah dituliskan namanya Patar. Nah lho? :D Selebihnya sih oke-oke saja, karena saya juga bukan orang perhatian di detil dan masih bisa lancar membaca meski typo. Hahahaha.

Novel romansa sebenarnya bukan pilihan saya ketika berada di toko buku, tapi membaca Labirin Rasa itu menyenangkan. Ceritanya ringan, mengalir dan membuat kita penasaran bagaimana akhirnya. Eka menyelipkan banyak pelajaran terutama untuk wanita - wanita yang sedang mencari cinta sejati. Banyak hal terjadi di luar yang kita harapkan, padahal hal itu justru akan membawa kita pada kebaikan. Energi positif Eka tersirat jelas disini. Saya menyelesaikannya sekitaran 3 hari, dan ini memberikan harapan minat baca saya akan tumbuh lagi. Hihi.

*artikel ini diikutkan Lomba Review Labirin Rasa. 

http://www.smartfren.com/ina/home/


Monday, September 02, 2013

Rumah untuk #anaklanang

Oh well, sekali lagi.

Saya tak bisa konsisten bahkan untuk memegang komitmen pada diri sendiri. Komitmen untuk  kembali menulis satu saja tulisan dalam seminggu.. Satu bulan terlewati dari tulisan terakhir, Agustus yang sebenarnya banyak cerita, justru tak terabadikan satupun. Terlalu banyak kejadian, terlalu sedikit waktu untuk menuliskan.

Agustus.

Hari Raya di awal bulan, rencana mudik yang berantakan karena si #anaklanang sakit, mobil yang tak kunjung keluar dari bengkel, koneksi internet yang tidak ada di kampung halaman, si mbak yang sempat mengirimkan pesan untuk tidak kembali (meski akhirnya dia meralatnya kembali). Belum lagi setelah kembali ke ibukota, kerjaan yang sangat menumpuk, si mbak yang belum kembali juga meski saya sudah mulai bekerja, dan acara - acara di lingkungan rumah di antaranya. Beberapa hal yang benar- benar menguras tenaga dan pikiran, kala itu. :D

Saung depan rumah kami. Terima kasih pada tetangga baik hati yang menginisiasi :D

Membincang lingkungan rumah yang kami tempati sekarang, seakan tidak ada habisnya. Tidak ada habisnya pula acara - acara diadakan disini. Entah acara keagamaan, family gathering atau acara tujuhbelasan dua putaran yang baru saja lewat. Di bulan Agustus lalu, rasio acara di akhir pekan adalah 3 : 5. Dari perayaan 17an (ini saja ada 2 hari ), lalu malam puncak perayaan kemerdekaan ( satu minggu setelahnya ) dan arisan bulanan.

Jika saya membincang ini dengan beberapa teman, terutama yang kenal saya dulu, pasti akan membuat mereka terheran-heran. Bagaimana saya bisa tahan dan bersenang-senang dengan itu semua? Hahaha.

Terlepas dari kesulitan saya untuk bersosialisasi, dulu saya adalah anak kost. Ikatan saya pada tempat tinggal seringnya tak lebih dari kasur untuk tidur, kamar mandi, dan CD player yang tak henti memutar lagu - lagu. Dan buku - buku. Selebihnya saya akan memilih tempat kost yang sunyi, semakin sunyi semakin baik. Semakin tak banyak tetangga yang saya kenal, semakin nyaman saya tinggal.

Dulu, bahkan saya punya pikiran, semakin banyak orang yang berada di sekitar saya, rasanya semakin sedikit ruang yang saya miliki. Dan pikiran itu, secara tak sadar mempengaruhi fisik saya. Sesak napas atau mual berlebihan jika saya ada di antara banyak orang.

Pawai Obor menjelang ramadhan.
 Banyak hal memang berubah sekian tahun belakang. Tapi perubahan yang paling saya rasakan adalah semenjak saya pindah dan menempati rumah ini. Saya mengenal banyak orang baik yang bersedia bersusah payah untuk melakukan sesuatu untuk orang lain. Orang - orang yang mempunyai energi positif dan membaginya dengan sekitar, termasuk saya. Orang - ornag yang membuat saya belajar banyak hal. Saya belajar untuk menekan ego, belajar untuk tidak berasumsi, belajar untuk bersosialisasi. Saya mengendurkan sekat-sekat yang selama ini menghalangi orang untuk mendekat, saya belajar untuk tidak berprasangka dan berekspektasi pada tetangga karena toh sayapun tak sempurna, saya belajar untuk selalu memberi apapun yang saya punya. Tenaga, pikiran, atau bantuan jika memang diperlukan.

Semua itu awalnya tak mudah memang, tapi ketika kami (saya dan suami) melakukannya untuk #anaklanang, semuanya terasa lebih menyenangkan.  Awalnya, saya dan suami melakukannya tak lebih agar anak kami nyaman tinggal di lingkungan ini. Kami, tak ingin membuatnya tumbuh dengan prasangka-prasangka. Tak ingin membuatnya tumbuh sebagai pribadi yang anti bersosialisasi. Tak ingin membuatnya berfikir bahwa orang lain adalah beban. Karena memang seharusnya begitulah manusia. Makhluk sosial dan selalu berbagi. Dan terlebih lagi, kami ingin meninggalkan ingatan - ingatan yang hangat dan menyenangkan, tentang lingkungan, tentang orang - orang sekitar, tentang keriuhan - keriuhan yang dia alami dan saksikan.

Hingga jika nanti dia bepergian, dia ingat rumah untuk pulang. Bukan hanya pada kami orang tuanya, tapi juga pada hangatnya kenangan.

Monday, July 08, 2013

Kampanye Politik di Media Sosial




Media sosial telah menumbuhkan persepsi baru terhadap kata “kampanye”. Jika sebelumnya kata “kampanye” dikenal masyarakat ketika menjelang pemilu atau pemilihan kepala daerah, sejak maraknya media sosial, kata kampanye memiliki pengertian yang lebih luas dari sebatas kampanye politik. Di media sosial, semua orang bisa  melakukan kampanye yang tidak berkaitan dengan politik. Baik itu mengkampanyekan kegiatannya, maupun mengkampanyekan brand/merek barang tertentu.

Media sosial dipercaya bisa menjadi media yang murah untuk mengumpulkan massa, atau dalam tahap ini adalah dukungan, sebelum akhirnya kampanye itu diwujudkan dalam aksi nyata. Sebut saja beberapa kegiatan yang berawal dari media sosial, yaki Koin Keadilan untuk Prita Mulyasari, dan belum lagi banyaknya Social Movement yang merupakan inisiatif anak-anak muda seperti IDBerkebun, Akademi Berbagi maupun Coin A Chance!

Setelah media sosial turut andil dalam kemenangan Barrack Obama di pemilihan presiden AS tahun 2008, media inipun dilirik oleh beberapa politikus untuk mengkampanyekan kegiatan politiknya. Di Indonesia, kemenangan Jokowi – Ahok dalam pemilihan DKI 1 juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kampanye di media sosial. Terakhir dan masih segar, adalah kemenangan Ridwan Kamil dalam pemilihan Walikota Bandung bulan lalu. Kemenangan ini menjadi menarik karena sosok Ridwan Kamil yang selama ini tidak menjadi tokoh terkemuka di peta politik, melainkan  dikenal sebagai penggagas social movement IDBerkebun,  tiba-tiba mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan walikota! Tak bisa dipungkiri, peta politik dikacaukan oleh contoh demokrasi sesungguhnya, yakni media sosial.

Jika sebuah brand agency terbiasa membuat kampanye untuk sebuah product / barang, kali ini mendapatkan tantangan lain yakni mengkampanyekan seseorang untuk mendapatkan dukungan. Apakah teori-teori yang selama ini bisa digunakan untuk mengakampanyekan sebuah brand bisa diterapkan dalam kampanye politik di media sosial? Nanti dulu!

Meskipun banyak contoh keberhasilan seorang tokoh memenangkan pemilihan suara, bukan berarti kesuksesan kampanye politik di media sosial otomatis akan otomatis sukses pula dalam pemilihan daerah atau pemilihan presiden.

Media sosial sekali lagi hanyalah media, sebuah bagian kecil media yang digunakan untuk berkampanye, atau lebih tepat jika disebut berkomunikasi menyampaikan pesan. Dia tidak bisa berdiri sendiri, melainkan juga harus didukung media lainnya, antara lain media massa yang saat ini tetap terluas jangkauannya. Karena media sosial dan media massa merupakan satu bagian, maka pesan yang disampaikan haruslah bersinergi dan selaras, saling mendukung.

Selain itu, yang tak kalah penting dalam kampanye di media sosial adalah produk/barang yang ingin dikomunikasikan. Dalam kampanye politik, obyek ini berarti reputasi si tokoh. Pencitraan Barrack Obama, Jokowi maupun Ridwan Kamil di media sosial bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan instan secepat penambahan follower / fans. Media sosial lagi-lagi hanya sebagai media untuk menampilkan reputasi yang telah mereka bentuk bertahun-tahun sebelumnya. Jika reputasi sesungguhnya tak bagus, maka media sosial hanya akan menjadi boomerang, bukan? Karena di media ini, siapapun bisa memuji, mengkritik dan mengeluhkan apapun yang dirasa tak sesuai. Hal ini bisa dilihat di Facebook Fanpages Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang baru diluncurkan 2 hari lalu di Istana Bogor. Selain banyak yang memuji kinerjanya, banyak pula yang mempertanyakan kebijakannya. Tapi, ini contoh demokrasi sesungguhnya bukan?  Jika seorang kepala Negara sudah bersedia untuk terjun ke media sosial, selayaknya Beliau terbuka mendengarkan suara rakyatnya.

Dan kini, pemilihan presiden RI di 2014 sudah semakin dekat. Media sosial menjadi semakin riuh oleh kicauan politik. Para tokoh politik berduyun-duyun membuat akun Twitter dan Facebook. Sebut saja Prabowo, Hatta Rajasa dan terakhir Mahfud MD yang juga memiliki akun yang dikelola oleh Timnya di @MahfudMD_Info serta banyak nama lainnya . Pengguna media sosial yang sebagian besar anak muda dan merupakan first voter dinilai menjadi pos suara terbesar yang bisa dipengaruhi untuk pemilihan presiden nanti. Tapi efektifkah media sosial dalam menentukan masa depan Indonesia melalui pemilihan presiden 2014 nanti ? Mari kita lihat! (dew)

*gambar diambil dari classbrain.com
**postingan ini dituliskan pula di http://inmarkdigital.com

Thursday, July 04, 2013

#AlbumRaya Iwan Fals

Rabu minggu lalu, suami tiba-bisa mengirimkan pesan melalui handphone.

"Ma, ke Rolling Stone (cafe) yuk! Nanti malam ada launching album Iwan Fals."

Dan tanpa pikir panjang saya langsung iyakan.  Ketika menggemari sesuatu, termasuk penyanyi/group band, saya tidak bisa dibilang fans sejati. Saya enggan bersusah payah mengeluarkan uang untuk nonton konsernya. Paling banter hanya beli CD nya saja, itupun jika saya benar-benar suka.

Maka begitulah saya akhirnya berada di Rolling Stone Cafe malam itu. Sebenarnya untuk ukuran Jakarta, jam 6.30 belum bisa dibilang malam, karena sebagian besar pekerja baru keluar meninggalkan kantor pada jam segitu. Tidak lama setelah saya sampai, konser dimulai. Agak terkaget-kaget, jam 7 konser musik sudah dimulai! Tanpa band pembuka, langsung pemotongan tumpeng dan kemudian Iwan Fals menyanyi.

Terakhir kali saya melihat konser Iwan Fals mungkin sudah belasan tahun lalu, ketika masih di Bali, pada suatu pertunjukan Soundrenalin entah yang ke berapa. 

Sehingga pada malam seminggu lalu, penampilan Iwan Fals benar-benar meruntuhkan semua bayangan saya akan dia. Saya tak lagi melihat sesosok gagah, melainkan -meskipun tetap gagah juga, ding.- saya melihat sesosok lelaki tua berambut putih semua. Jika tak secara kurang ajar saya bilang, saya melihat seorang kakek-kakek, yang tak jauh beda dengan bapak saya, kakek penjual alat kebun di pinggir jalan raya atau semacamnya. Lalu tiba-tiba saya merasakan patah hati.

Lalu dia mulai bernyanyi. Raya, lagu pertama yang dinyanyikan adalah tentang anak lelaki terakhirnya. Tak bisa dielakkan,  lagu itu seperti mengungkapkan apa yang saya ingin katakan pada ghandar.

hiduplah hidup, seperti yang kau mau...
 
empati yang saya rasakan mungkin berlebihan, tapi Iwan Fals seperti menyuarakan apa yang orang tua ingin katakan.

2 lagu lainnya berkolaborasi dengan Lea Simadjuntak, yang mempunya suara magis dan menghipnotis semua yang hadir. Hingga entah lagu yang keberapa, Iwan Fals benar-benar membuat saya sedih karena patah hati lagi. Dia membuat lagu dengan judul Kopi Top, mungkin dibuat untuk promosi kopi yang selama ini meng-endorse nya, atau memang dia mengarang lagu tersebut hanya karena ingin.

Perasaan patah hati itu tak lama, karena selanjutnya saya merasa sedih. Sedih untuk Iwan Fals yang terlihat begitu tua, Iwan Fals yang membuat lagu untuk kopi yang mensponsorinya. Sedih untuk seseorang yang karena keadaan, harus melakukan sesuatu yang bukan seperti dia dulu.

Tapi, bukankah setiap orang memang tak bisa selalu begitu-begitu saja? Entah karena umur yang menua, entah karena perjalanan yang semakin lama, atau entah karena keadaan yang kadang mengecewakannya. Seseorang terbentuk oleh itu. Dan mungkin inilah Iwan Fals pada bagian ini. 

Hingga pada akhir lagu, pada perjalanan pulang, pada keesokan harinya ketika saya membaca wawancara ekslusifnya di Majalah Rolling Stone, saya menyarari suatu hal...

Iwan Fals tidak sungguh-sungguh berubah, karena tidak ada orang yang benar-benar berubah. Selalu ada saja yang tertinggal. Entah keyakinan, maupun prinsip-prinsip yang dipegangnya. Atau semangat.

Friday, June 14, 2013

Ozaru Donburi yang bikin Happy!

Saya dan teman kantor (pic by @_dita)
Sudah lewat dari 2 tahun saya bekerja kembali, tapi tak sekalipun menuliskan tentang pekerjaan dan segala macamnya. Mungkin karena memang tidak ada yang dikeluhkan. Maklum, saya suka menulis untuk mengeluh, hahaha.

Kantor saya bekerja sekarang memang sangat menyenangkan. Selayaknya creative agency, yang pertama jelas ngga pakai seragam. Lalu, boss saya mendukung banget remote working, jadi meski jam kerjanya selayaknya kantor2 lain , tapi kami ngga wajib mengerjakannya di kantor. Bisa dimana saja, asal pekerjaan beres. Lalu, karena karyawan tetapnya tidak banyak, kami lebih seperti keluarga daripada rekan kerja.

Nah, soalan teman kerja yang sudah mirip sama kluarga ini bisa jadi juga karena memang kami berada di circle yang sama, yakni bloggers. Yah, meski saya ngeblog bisa setahun hanya 5 postingan sih :D

Minggu lalu, salah seorang teman kantor, si Titiw, mengajak kami ( saya, @_dita, @adhistwd, @anakustad dan @bungaistyani ) untuk makan siang di restaurant temennya. Cocok banget kan, untuk menghubungkan teman Titiw si pemilik restaurant dan teman-teman Titiw yang bloggers dan suka makan? Jadilah saya dan teman-teman sekantor yang memang tidak banyak itu untuk makan di Ozaru Donburi. Meski kami hanya berenam, tapi hitungan porsi bisa dikali dua lah..

Interior di @OzaruJkt, waitress nya pakai kimono!
Pertama kali ke Ozaru Donburi, dari luar tempat makan ini lebih cocok disebut kedai daripada restaurant. Mirip dengan kedai-kedai di film-film Jepang gitu deh, selain ada meja kursi untuk tamu - tamu yang datang dengan teman, juga ada table bar yang cocok untuk tamu yang datang sendirian. Setidaknya buat saya, duduk di table bar menghadap jendela mengurangi rasa melodramatic kalau makan sendirian. :D

Interiornya minimalis, dengan furniture berbahan kayu atau berwarna hitam,  dan tidak banyak hiasan di dinding kecuali wall painting bergambar cherry blossom dan papan-papan chalkboard yang bertuliskan "donburi be happy". Ruangannya pun tidak terlalu besar, hanya berisi 4 set meja dan kursi serta 2 table bar plus sofa memanjang. Untuk yang berencana mengadakan ada semacam family gathering atau small party dengan peserta tidak lebih dari 30 orang, tempat ini akan cukup kok.

Gyu Tandon, Beef Yakiniku, Beef Teriyaki dan Oyako Donburi
 
Seperti namanya, Donburi,  yakni Nasi beserta lauk pauk yang dihidangkan dalam mangkok yang besar, menunya juga tidak jauh dari Nasi. Ada Oyako Donburi ( semacam Nasi dengan omelet yang berisi daging ayam dan disiram saos khusus ) , maupun beef Teriyaki yang disajikan di mangkok bersama Nasi. Untuk Donburi ini ada 2 pilihan prosi, yakni small & normal portion. Untuk yang daya tampungnya tidak terlalu besar, sebaiknya memesan Donburi nya porsi small saja, karena ada side dish lain yang menggiurkan untuk dicoba. Harga Donburi berkisar Rp. 20.000 - Rp. 30.000 per porsi. Cukup terjangkau kan?

Selain itu ada berbagai jenis Kare dan Udon, serta spesialnya Gyu Tan Don, yakni lidah sapi  yang (sepertinya) diasap dan dimakan dengan saos spesial yang entah namanya. Meski lidah sapi bukan pilihan saya ketika memilih menu, tapi Gyu Tan Don ini enak sekali. Ngga terasa rasa anehnya lidah, pas banget lah dimakan dengan saosnya. Harga Gyu Tan Don lebih mahal dari menu lainnya, tapi jika melihat rasanya, tetap saja terhitung murah, yakni hanya Rp.38.000/porsi.  Sepertinya lain kali saya ke Ozaru, saya akan pesan menu ini deh :D

Cream Korokke yg sdh dipotong2, Mushroom Katsu dan Ice Cream
Jika Donburi terasa mengenyangkan dan hanya ingin makan yang ringan-ringan saja, ada berbagai macam pilihan side dish, dengan harga mulai   Rp. 8.000 - Rp. 13.000 (kalau saya tidak salah ya! :D) Meskipun namanya side dish, ada baiknya untuk memilih 1 macam dulu sebelum kalap lapar mata, karena seporsinya disajikan dengan ukuran yang sungguh-sungguh bikin kenyang. Kalau datang bersama teman, baiknya memesan menu yang berbeda saja, jadi bisa incip semuanya deh, karena memang semuanya enak.

Ada Cream Korokke, semacam mashed potato yang dibentuk mirip kroket dan digoreng dalam balutan tepung panir. Kenapa saya bilang mashed potato dan bukan menyebutnya kroket? Karena rasanya cheesy, plus tidak ada isi daging/sayurannya. Rasanya enak banget.

Selain itu ada ada pula Kawa Katsu, yakni kulit ayam digoreng tepung dan mushroom Katsu yang terbuat dari jamur kancing. Keduanya disajikan dengan saos sambal dan mayonaise di piring kecil. Sebenarnya sih akan lebih baik jika saos dan mayonaise tersebut disajikan di botol, sehingga kita mengambil seperlunya saja. Karena jika disajikan di piring, banyak sisa yang tidak dimakan. Kalau tidak suka side dish yang oily, bisa pesan Miso Soup dan soup lainnya, kok. 
Ihiyy..ada yg lagi kencan!

Untuk minuman, selai Ocha ada pilihan jus juga. Minuman ini berkisar dari Rp.4.000 hingga belasan ribu. Ocha nya bisa refill, tapi sayangnya agak pahit. Mungkin ocha yang bagus memang yang pahit ya, tapi saya lebih suka ocha yang tidak terlalu pahit.

Sebagai penutup, karena sudah mabok kekenyangan dengan menu makannya, kami hanya memesan seporsi green tea & seporsi Red Bean Ice cream untuk kami berenam. Rasa ice cream nya? Kedua nya enak! Bedanya, Green Tea Ice Cream lebih manis, sehingga yang ngga suka manis, lebih baik pilih yang Red Bean saja.

oya, untuk yang twitpic makanan di Ozaru dan mention Twitter mereka (@OzaruJkt), akan ada free caramel pudding. Sayangnya kemarin kami terlalu kenyang untuk mencoba caramel pudding ini :D

Overall, makanan di @OzaruJkt enak, dan lainnya enak banget. Dari berbagai makanan yang kami pesan kemarin, semuanya habis. Hahaha. Dan harganyapun terhitung murah untuk tempat makan si sekitaran Blok M. Harga mahasiswa, jadi kalau seandainya Ozaru Donburi terletak dekat kampus, dijamin antri - antri deh.

Untuk yang mau ke Ozaru Doburi, alamatnya di Jalan Melawai X No. 14 Kebayorang Baru - Jaksel , sedangkan jika ingin delivery order, telp ke (021) 462 56531 atau ozarujapanese@yahoo.com atau bisa juga mention twitternya @OzaruJkt untuk info lainnya. 


Tuesday, June 11, 2013

Si Anak Semesta

Kepada anak lelakiku,

Kupikir aku akan membesarkanmu di suatu tempat yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan. Pada suatu tempat yang hening.

Tidak harus desa, tapi untuk pergi ke sawah hanya tinggal kau kayuh sepeda. Karena ibumu tak pernah jauh dari situ. Bunyi kodok di parit yang hampir penuh pada musim hujan, atau berburu capung dan belalang lalu membungkusnya dengan plastik sekiloan. Sore pulang, dengan kaki berbalut lumpur yang telah mengering.


Kupikir kita akan tinggal pada suatu tempat yang lapang, dimana kau bisa terbangkan layang-layang. Berlari-larian dengan peluh menetes deras. Karena dulu ibu dan ayahmu begitu. Bernyanyi - nyanyi Padang Mbulan ketika purnama, lalu berburu kunang - kunang. Sedangkan kamu, sejauh ini, hanya tahu kunang - kunang tak lebih dari dongeng di layar televisi.

Kupikir aku akan membesarkanmu di pinggiran pantai. Sehingga kamu akan akrab dengan suara deburan ombak, dan buih - buih yang menggelitik kaki. Kamu akan akrab dengan batu karang, bulu babi atau ubur-ubur yang terkadang membuatmu alergi. Suatu saat kita akan berperahu, lalu memberi makan ikan - ikan yang kelaparan. Kamu akan menghitung senja, dan menunggu setiap kejutannya.

Kau akan tumbuh dengan kulit menghitam, bau matahari. Mungkin dengan gigi - gigi kuning menampung senyuman. Tapi kaki - kaki kecilmu tegap menginjak bumi, karena kamu biasa berlari - lari di panasnya pasir dan lembeknya lumpur. Tanganmu akan menggenggam erat, atau lentur seperti ketika kau menerbangkan layang-layang. Maumu mungkin akan seperti batu, karena kau terbiasa berjuang untuk mendapatkan itu.






Kupikir aku hanya menginginkanmu tumbuh sebagai anak semesta. Belajar memahami apa yang ditandai oleh alam, lalu mengamalkannya.



Thursday, June 06, 2013

Jakarta, Depok dan perjalanan di antaranya.

Saya ingat betul, dulu ketika awal-awal ngeblog, keinginan untuk menulis sangat besar. Bahkan seringkali saya ingin menulis lebih dari satu postingan setiap harinya. Bahkan terkadang lebih dari itu, dan terpaksa saya harus menjadwalkan postingan hanya agar tidak terlalu banyak menulis dalam satu hari. Padahal, hal - hal yang dituliskan terkadang lebih banyak hal remeh temeh dan tidak penting, yang anehnya bisa saya tulis dengan melodramatic dan berlebihan, hahaha.

Pada masa itu, buat saya  semua hal mempunya makna, -yang tentu saja saya lebih-lebihkan :D-. Dari bunga kuning yang saya temui di pinggir jalan, hingga rasa nasionalisme dalam postingan kemerdekaan. Tentunya lebih banyak menuliskan perasaan dan patah hati, hahaha. 

Perasaan saya begitu sensitif. Apa saja mempunyai arti, apa saja bisa bercerita. Dan perasaan saya bisa teraduk-aduk karenanya. Dan jujur, saya terkadang merindukan masa-masa itu..

Konon katanya, kepekaan seperti pisau, makin tumpul jika jarang digunakan. Dan sepertinya itulah yang terjadi. Saya mengabaikan banyak hal, lalu perlahan hal-hal tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa. Pohon - pohon tak lebih dari tanaman penghalang panas, pantai tak ubahnya ombak dan matahari yang tenggelam. Segala hal tak lagi dimaknai lebih dari itu.Tapi seperti pisau pula, saya percaya kepekaan bisa di asah. Dan inilah yang saya sedang lakukan, mengasah kepekaan saya akan hal - hal yang terjadi di sekeliling.

Sudah 2 tahunan saya tinggal di Depok. Menempuh 1 hingga 2 jam perjalanan dari rumah ke kantor, lintas propinsi, lintas kemacetan. Sebenarnya banyak hal menarik yang saya temui dan mencoba memaknainya, daripada hanya menghabiskan waktu dengan mengumpat keadaan. Dari gedung - gedung pencakar langit (ini yang paling banyak saya temui) , masjid yang ada hampir di setiap gang, dan hingga jalan dan segala kesemerawutannya. Berbekal Samsung Galaxy Note 2 hadiah dari suami, saya mencoba melatih lagi kepekaan melalui lensa kamera. Dan beberapa foto inilah hasilnya.








Foto - foto lainnya bisa dilihat di http://on.fb.me/13mkmF6
Jangan berharap banyak, namanya juga latihan. Banyak kurang, jauh dari kata sempurna. Tapi, semoga suka dengan foto-fotonya! :")

Monday, June 03, 2013

#MuktamarBlogger Mewah!

Para Blogger Sepuh (pic by @didut)

Berbicara tentang komitmen dan konsistensi, saya adalah orang yang paling ogah untuk membuat komitmen, kecuali yakin bisa benar-benar commit. Ogah karena saya ngga yakin bisa konsisten menjaga komitmen tersebut hingga waktu yang lama. Saya orang yang moody, dengan tingkat kebosanan yang akut. Jadi bila dua hal tersebut lagi menyerang, yah bisa dibayangkan apa jadinya...

Meski untuk beberapa hal, hal itu tidak berlaku. Jika saya sudah nyaman terhadap sesuatu, maka saya akan susah move on ke hal lainnya, salah satunya dengan domain di blog ini. Meski teman-teman ngeblog banyak yang sudah pindah ke wordpress, atau memakai dotcom sendiri, tapi saya masih konsisten ngeblog di blogspot. Errr...ngga bisa dibilang konsisten juga sih, secara ngeblognya bisa hanya beberapa bulan sekali. Tapi setidaknya selama 8 tahun, blog ini masih hidup dan masih ada postingan setiap tahunnya.

Dari blog saya mengenal banyak orang, termasuk suami :D Eh, suami sih kenalnya bukan karena blogwalking, melainkan dikenalin teman blog. Si teman dan si (dulunya calon) suami teman blog, tapi jujur..saya ngga pernah blogwalking ke blog suami sebelum dikenalin. Tapi yasudahlah ya, ujung-ujungnya kenal dari blog juga kan ya? :")

#MuktamarBlogger di emperan Plaza Indonedia (pic by @fanabis)

8 tahun ngeblog, sekian banyak teman blog yang dikenal, saya hanya bergabung ke satu komunitas blog, yakni @bunderanhi (yang entah apa blog nya sekarang) . Kenapa bisa betah berkomitmen dengan @bunderanhi? Ya karena itu tadi, di @bunderanhi kami commit dengan inkonsistensi. Hahaha. Bingung? Kira-kira begini, di @bunderanhi itu tidak ada aturan baku member harus ngapain dan komunitas harus begimana. Dulu kami rajin nongkrong di emperan Plaza Indonesia, tapi sekarang ngga. Kadang milis ramai, kadang berbulan-bulan diam saja. Kadang kami suka ketemuan, kadang bertahun-tahun ngga. Hal-hal yang ngga jelas seperti itulah yang membuat kami betah bersama-sama.

Jika dihitung dari saya mulai bergabung, yah..kira-kira 6 tahun lebih lah. Dari anggotanya yang masih lajang-lajang, hingga banyak yang sudah beranak pinak. Dari yang dulu semua punya blog di semua penyedia layanan, hingga sekarang yang punya email aja sudah syukur rasanya ( ini Paman Tyo! ). Dari yang rambutnya sudah abu-abu, hingga putih semua (ini Pak Mbilung!) Meski tetap banyak yang ngeblog (misal Mbak Ai dan Mas Iman) atau yang sudah menjadi Social Artist macam @Ndorokakung.



#MuktamarBlogger 2008
#MuktamarBlogger 2009
Dulu, sebagai parodi event blogger tahunan Pesta Blogger, malam sebelumnya kami mengadakan Muktamar Blogger di @bunderanhi. Acaranya? Ngga jelas. Tahun 2008 kami mengambil tema "Blogging for Wit-Witan" dengan mengadakan acara sosial menanam pohon entah dimana, dan di tahun 2009, saking bingungnya mau pakai tema apa, kami memutuskan temanya "Blogging for Nothing" . Tahun 2011 bersamaan dengan ON|OFF, kami mengadakan Kontes Foto dengan tema "Byar|Pet" alias Foto Hitam Putih. Ngga ada hubungan Muktamar Blogger dengan pesta Blogger maupun ON|OFF, kecuali kami numpang tenar. Mungkin inilah yang membuat PamanTyo memilih "Selalu Wagu dan Pede" untuk tagline komunitas @bunderanhi. Hahaha.

Pak @mbilung penerima Boncel Award
Kategori Blogger Ngeselin 2013 (pic by @mbilung)
Jika Pesta Blogger identik dengan acara-acara dan penghargaan untuk blogger-blogger yang memang berprestasi dan layak diapresiasi,  di Muktamar Blogger acaranya adalah nongkrong-nongkrong ngga jelas dengan pemberian Negro Boncel Award (Boneka Negro berambut kriwil) untuk blogger-blogger kategori sesuka kami. Kok sesuka? Karena suka-suka kami membuat kategorinya, tiap tahun berbeda -beda. Ada kategori Blogger #rauwisuwis , Blogger #Nyepik atau misal di tahun ini, ada Blogger Ngeselin untuk Pak Mbilung.

Dan tahun ini, meski Pesta Blogger (yang terakhir berganti menjadi ON|OFF tidak ada) Muktamar Blogger tetap diadakan, dengan tema "Blogger Ngga Blogger yang penting NgeBlog". Kalau ngga mau dibilang mengagumkan, maka kata "tidak waras" adalah kata yang tepat untuk mempersiapkan acara ini. Bagaimana tidak? Hanya dalam 5 hari, panitia yang diketui Mbak Ai @pasarsapi (kami menyebutnya Manusia Amben, sebagai parodi dari Chairman ) menggagas acara dan MENJADIKANNYA ! Hahahaha, saya sendiri sebagai member tidak sempat turut serta kerepotannya, pas muncul ide mau diadain, saya sedang di Jayapura.

Mbak Ai si Manusia Kursi (pic by @pasarsapi)

Mbak Ai dan teman-teman @bunderanhi dari mencari tempat, mengisi acara, membuat spanduk hingga mencari dana. Kok dana? Jadi begini, kalau biasanya acara diadakan di emperan Plaza Indonesia dan tengah malam, #MuktamarBlogger kali ini diadakan di tempat yang harus kami sewa dan diadakan siang hari. Kenapa ngga di emperan saja seperti biasanya? 6 tahun, dan kami sudah tidak lagi muda, kisanak! Mana kuat kami begadang dan kena angin malam, hahaha.









Buku Tamu #MuktamarBlogger by @bangaip

Berlangsung di Aula Taman Langsat Kebayoran Baru, acara #MuktamarBlogger ke-13 (maksudnya tahun 2013) digelar. Acaranya? Ya nongkrong-nongkrong seperti biasa. Dan berkat kegigihan panitia dan manusia kursi nya, banyak teman-teman yang mau support meski namanya tak dicantumkan di spanduk pun, hahahaha. Ada @XL123 yang selama ini banyak mendukung acara-acara komunitas ikut meramaikan dengan #KumpulXeru, ada @weMISU @buburayamMadura untuk makan siang dan @Sunpride_ID yang supply buah segar. Jika biasanya suguhan Muktamar Blogger adalah kue - kue sumbangan siapa saja yang mau menyumbang dan kopi yang harus bayar sendiri-sendiri ke simbok kopi keliling, Muktamar Blogger kemarin mewah sekali, makanan melimpah!!  Banyak makanan, kamipun riang :D


Sudah lama kami tidak berkumpul bersama - sama, rasanya haus guraruan saru dan ngga mutu, tapi terlalu malas untuk menginisiasi kopdar. Dengan adanya Mbak Ai dan teman-teman @bunderanhi yang mau repot-repot mengurusi #MuktamarBlogger ini, rindu kami terobati. Meskipun, -seperti tema-, teman-teman yang datang justru yang sudah ngga ngeblog lagi. Syukurlah di dunia perbloggingan tumbuh komunitas-komunitas yang lebih rajin dari kami, yang mau datang dan meramaikan acara dan berhaha-hihi, sehingga acaranya ramai sekali!Terima kasih banyak sudah datang yaaa....

Catatan kaki : 
Konon, sudah ada Manusia Amben untuk tahun depan, yakni Arya Perdhana, dengan tema #MuktamarBlogger "hajigur godong kencur!" Tapi sebaiknya jangan berharap banyak, mari berdoa saja mood kami bagus sehingga mau repot-repot buat acara.

Ada yang masih ngeblog, ada yang (mantan) blogger, ada blogger kambuhan dan ada mantannya blogger. 6 tahun dan masih seru kalau ngumpul. Senang senang senang! (pic by Viving Linda )

Friday, May 31, 2013

Jayapura, dan kopi yang tak ada.

Bepergian selalu membuat saya berdebar - debar. Antara senang sekaligus ketakutan. Antara gembira sekaligus khawatir. Dan itulah yang saya rasakan ketika memulai perjalanan ke enam kota. Jogja, Pontianak, Lampung, Makassar, Aceh dan Jayapura.

Mungkin inilah yang membedakan saya dulu dan sekarang. Kalau dulu kadang kegembiraan saya menyambut sebuah perjalanan lebih besar daripada menghawatirkan hal - hal lainnya. Sekarang, porsi keduanya diputar balikkan.

Dan semakin besar pula kekhawatiran saya menjelang perjalanan ke Jayapura. Jika sebelumnya ke Aceh yang memakan 3 jam perjalanan saja membuat saya deg-degan, kali ini dua kali lipatnya.

Baiklah, mari saya ceritakan saja.

Perjalanan saya ke Jayapura sebenarnya sangat singkat, hanya 3 hari saja. Itupun untuk bekerja. Berangkat pada Kamis malam (23 Mei), dan setelah transit masing-masing 45 menit di Makassar dan Biak, akhirnya saya sampai di Jayapura jam 7 pagi waktu setempat. Perbedaan waktunya hanya 2 jam saja, tapi kondisi geografisnya sangat jauh berbeda. Jam 7 pagi wkatu Jayapura seperti pukul 9 pagi waktu Jakarta. bertiga ( saya, Dita dan Bang Enda ) menginap di Aston Jayapura. Perjalanan bandara ke kota Jayapura sendiri memakan waktu 1,5 jam, jarak yang benar-benar jauh. Karena kedatangan kami yang terlalu pagi dan kamar belum siap ditempati, kami menunggu kurang lebih 1 jam di lobby sebelum akhirya bisa check in dan istirahat.

Jayapura sendiri jauh dari bayangan saya sebelum sampai disana. Kota ini ternyata jauh dari kata primitif. Meskipun belum ada bioskop, tapi sudah ada Mall Jayapura disana. Penduduknya pun banyak yang transmigran, dari berbagai daerah di Indonesia. Dibandingkan dengan Makassar, pekerja di bidang jasanya jauh lebih bisa melayani.



Setelah istirahat, kamipun kelaparan dan mencari makan. Berkat rekomendasi seorang teman, Ziipy, siang itu kami makan di restaurant seafood , Cirita Seafood , yang terletak di RUko Sentra Bisnis, dan langsung menghadap ke teluk. Untuk makanan, mirip -mirip dengan masakan Manado atau Bali. Bumbu Kuning yang mirip ayam betutu, dan sambal Rica-Rica yang mirip dengan sambal matah. Jadi semua saya suka! Saya pun sempat mencicipi Papeda, yakni makanan pengganti Nasi yang terbuat dari sagu. Untuk ini saya hanya bisa bilang...yucks!

Makanan lain yang saya coba adalah Ikan Mujair di RM Nusantara. Ada 2 rumah makan Nusantara di Jayapura, satu di belakang Mall Jayapura (yakni di tengah kota) dan satunya lagi di Sentani, tidak terlalu jauh dari Bandara Sentani. Jika ingin membuat janji, pastikan di RM Nusantara yang mana, karena Jayapura ke Sentani sendiri seperti saya bilang tadi, 1,5 jam :D

bang @enda , @_dita, @dewikr dan @ziipy
Di Jayapura yang istimewa adalah seafoodnya, sekaligus pemandangan kota pada malam harinya. Untuk pemandangan kota malam hari ini bisa memilih makan malam di Rumah Makan Bagus Pandang, yang memang sangat bagus pemandangannya. Bisa juga menikmati malam di Bukit Pemancar, atau Angkasa, hanya saja keduanya tidak ada restaurant terkenal yang bisa dicoba.

Cukup mengenai makanan. Kali ini mari kembali ke kotanya. Jayapura yang dibangun dengan memotong/meratakan bukit, memiliki area sangat terbatas untuk dikembangkan. Selain itu, akses kota ini dengan kota-kota di luarnya pun sangat minim. Jalan yang berbukit-bukit membuat kotanya sulit diakses dari kota lainnya. Pemandangannya pun standard, dengan  teluk dan danau Sentani yang hanya bisa dinikmati dari ketinggian. Jika ingin bermain di pasir, maka harus menyetir setidaknya 1 - 2 jam sebelum akhirnya tiba di Harlem atau Base-G Beach. Sayangnya, lagi-lagi kami tak sempat kesana.


Object wisata lain yang bisa dikunjungi disini adalah Douglas McArthur Hill. Yakni base-camp militer di jayapura. Untuk ke McArthur ini, harus menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam ke arah Sentani, jadi bisa dikunjungi ketika perjalanan ke Bandara Sentani. Pemandangan dari bukit ini adalah pemandangan Danau Sentani dan Bandara, memukau! Foto disamping adalah buktinya, sangat indah bukan?

Di Jayapura, sangat jarang ditemui kedai kopi. Jika di kota-kota lain saya menyempatkan ngopi di warung kopi, di Jayapura saya ngopi di Coffee Shop. Mungkin orang - ornag jayapura tidak punya tradisi ngopi kali ya?

Terlepas dari kekecewaan saya karena tidak adanya warung kopi, Jayapura sangat istimewa. Dan saya merasa beruntung pernah mengunjunginya. Mungkin nanti, saya akan kembali. 

Monday, May 20, 2013

Menghitung nikmat.




Rasanya sudah sangat lama saya tidak menulis.

Meskipun seringkali saya rindu, tapi seringkali keinginan untuk menulis terganjal pada kemalasan - kemalasan dan alasan yang ,-entah bagaimana-, selalu saja bisa saya temukan. Pekerjaan yang menumpuk, kesibukan yang diada-adakan, atau alasan apapun yang bisa menutupi keengganan saya untuk menulis panjang lebar.

Meskipun demikian, saya berusaha untuk tetap meluangkan waktu membaca beberapa blog teman-teman lama, yang hebatnya masih terus menulis hingga sekarang. Kesibukan masing-masing (lagi-lagi saya menyebut kata"sibuk"!) membuat kami jarang bertemu, tapi dengan membaca blog-blog mereka, membuat saya setidaknya tahu apa yang terjadi dengan teman- teman tersebut saat ini. Seru rasanya mengikuti perjalanan mereka, dari yang masih sendiri, hingga beberapa beranak-pinak, meski beberapa tetap masih sendiri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Seringkali saya merasa hidup saya membosankan. Apalagi jika membandingkannya dengan kehidupan teman - teman. Saya tak lagi membaca banyak buku, bahkan mungkin tidak ada satu bukupun yang selesai saya baca 2 tahun ini. Bacaan yang agak lebih panjang yang saya baca adalah blog teman-teman itu. Bukan karena tak ada waktu, tapi lebih lagi saya bosan membaca.

Saya tak lagi jalan - jalan berpetualang. Meski 4 bulan terakhir saya melakukan perjalanan dari ujung barat ke ujung timur Indonesia, tapi itu bukan petualangan, melainkan pekerjaan. Dan kembali saya menyadari betapa berbedanya saya dulu dan kini. Tak ada lagi energi untuk mengeksplore kota - kota itu lebih lama. Mungkin suatu hari, saya akan menuliskan tentang kota - kota itu dalam kata-kata. Saya kadnag merasa tak lagi muda, sehingga yang ingin dilakukan adalah tinggal di rumah dan bersama keluarga.

Keluarga. Mungkin ini adalah bagian terseru saya saat ini. Semua hidup saya adalah untuk mereka.

Anak laki-laki yang tumbuh dengan sangat pesatnya. Sudah 3 tahun saja usianya. Sudah merengek - rengek minta sekolah yang ada taman bermainnya. Sudah bisa berdebat hari ini mau pake kaos apa dengan sepatu yang mana. Sudah bisa merayu-rayu "mama cantik deh.." agar saya meloloskan permintaannya. Banyak cerita tentangnya, sangat banyak hingga saya lupa mencatatkannya :D

Selain itu, hidup saya adalah ayahnya. Lelaki yang menghujani saya dengan cinta, dan selalu membuat saya merasa sangat bersyukur bisa bersamanya.

Dan saya masih mengeluhkan hidup yang begitu-begitu saja?

Mungkin saya harus kembali belajar menulis. Menghitung syukur atas berkat yang telah saya terima. Menyebut nikmat sekaligus mengingatnya. Terlebih lagi, mencatat kebaikan semesta.

Monday, April 01, 2013

Kakipun Harus Nyaman!

Belakangan ini, banyak kejadian random di sekitaran saya.

Seorang teman sekaligus boss di kantor hari ini tiba - tiba nyelethuk, "Nanti coba deh perhatiin, Ghandar itu lama2 akan berpenampilan seperti kamu atau Epat." Apa pasal? Karena anak gadisnya sudah mulai meminta jam tangan yang sewarna dengan bajunya, persis seperti boss saya itu! Hohoho!

Tapi memang benar sih, siapa lagi yang akan menjadi role model untuk anak, selain orang tua yang sehari - hari dilihatnya? Jangankan persoalan penampilan yang memang kelihatan, kadang marahnya pun mirip sama kita orang tuanya. *grinning*

Dan berbicara tiru - meniru penampilan ini agaknya menjadi bumerang buat saya, yang suka berpenampilan seenaknya yang penting nyaman. Ngga sadar hal yang sama juga saya lakukan ke Ghandar. Untungnya dia cowok, yang bajunya ngga jauh - jauh dari kaos, kemeja, celana pendek dan celana panjang. Saya ngga harus mengkoleksi legging atau bando atau asesoris yang serasi dengan bajunya.

Permasalahan baru muncul ketika membeli sepatu. Karena dia hanya mau memakai sepatu yang benar - benar nyaman.

Pada umurnya 1 hingga 1,5 tahun, dia hanya mau memakai 1 sepatu hitam berbahan kain yang alasnya sangat ringan, khas sepatu2 pre-walker, sangat nyaman. Entah bahan apa namanya. Seperti karet yang mirip-mirip plastik tapi sangat ringan, sehingga rasanya seperti tidak memakai sepatu. Saking sukanya, kemana-mana hanya pakai sepatu itu. Pernah sobek, saya jahit tangan, dipakai lagi sampai akhirnya tidak muat. Sepatu ini paling berkesan deh, karena setelah tidak muat, saya tak bisa lagi menemukan sepatu ukuran lebih besar dengan bahan alas yang sama ringannya.

Membeli sepatu adalah perkara tersendiri. Minggu - minggu lalu, saya setengah putus asa tanya di twitter juga, sepatu apa yang nyaman untuk anak - anak. Beberapa teman menyarankan merek Oshkosh. Kalau itu sih saya pun tau, tapi Oshkosh kan mehel ye? :D

Hingga akhirnya tau dari Rere, dia baru saja membelikan sepatu anaknya di http://www.toezonefootwear.com/ Buka buka buka...dan akkkssss, sepatu Oshkosh nya lagi diskon! Kalau di toko jarang sekali Oshkosh diskon, di website ini banyak banget diskonnya! Tapi di website ini ada merek lain juga, yakni ToeZone Kids dan Apps Footwear. Makin bingung dan kalap lah si emak :|

Setelah browsing kesana - kemari, pilihan saya jatuh ke sepatu merek ToeZone Kids ini. Waktu itu pernah lihat kalau ngga di Sogo Plasa Senayan atau Seibu GI ya? (lupa!) sepatu merek ini, tapi karena lihatnya hanya sekilas jadi lupa. Trus ngga pernah ketemu lagi di toko lainnya. Setelah ceki2 websitenya, ternyata memang hanya dijual di gerai Metro, Sogo dan Seibu. Kalau online nya sih, melayani seluruh Indonesia. Alasan pilih sepatu ini sih..karena tumben - tumbenan saya nemu sepatu yang bahan alasnya mirip banget dengan sepatu paling berkesan yang sobek dan tidak muat itu! Baca - baca lagi ( dasar ya, emak2 detail banget!) , ternyata bahannya eco friendly pun, jadi terbuat dari daurulang dan tetap bisa tahan lama. Gapapa deh keluarin 300rb, khan awet.. (huhuhu, lagi2 emak2 banget kan, itung2an!)


Pas pilih - pilih ukuranpun juga gampang! Di website toezonefootwear.com menyediakan fitur untuk ngepasin ukuran. Di samping kanan sepatu yang kita pilih, ada menu "print fit" Bisa print dulu ukuran kira - kiranya, lalu dipasin sama panjang kaki anak. Kalau print nya untuk kaki kiri, ngepasinnya pakai kaki kanan. Ukuran yang pas adalah ketika jari terpanjang di area "Toezone", karena jika kebesaran atau kekecilan, sepatu ngga akan nyaman.


Akhirnya, saya yang impulsif inipun saat itu juga jadi membeli! Makin senang karena ternyata free delivery fee, karena transaksi lebih dari 150rb! Yay! Setelah transaksi, keesokan harinya sepatu sudah sampai dengan selamat! Karena kalau tidak, saya masih bisa claim untuk penggantian, ada garansi hingga 90 hari jika sepatu merek apa saja yang dijual toezonefootwear.com ternyata cacat produksi (untungnya sih sepatu yang saya beli ini ngga :D ) Beneran lho alasnya sangat ringan, seperti ngga pakai sepatu. Ketika dicoba, Ghandar pun sukak! Hohoho, I'm so happy mom!

Oiya, ternyata setelah sampai, penampakan si sepatupun tak berbeda dengan yang ada di website. Dasar si anak yang memang demen sepatuan, di rumah pun sepatu ini dipakai terus.. --"


Tuesday, March 26, 2013

Build a big love!


Saya tidak pernah bosan untuk berulang kali menceritakan asal mula kami membeli rumah. So, here is the story... 

"Pada suatu Minggu, di akhir tahun 2010, kurang lebih 1 tahun setelah kami menikah, seorang teman mengajak kami mencari rumah. Saya dan suami yang saat itu kondisi keuangannya pas - pasan, mengiyakan saja. Bukan karena kami juga ingin mencari rumah, tapi sekedar menghibur hati membayangkan punya rumah, sekaligus menimbang - nimbang berapa lama lagi kami harus menabung agar bisa membayar deposit. 

Tapi ternyata, ada perumahan baru yang menawarkan Deposit yang terjangkau, senilai tabungan kami. Letakknya (kala itu) terasa sangat jauh, di pelosok desa yang sepi. Untuk mencapai warung terdekat, berjarak kira - kira 1 km. Kami baru 2 kali ke Depok, dan baru sekali ke daerah itu. Karena baru dibuka, belum ada bangunan yang berdiri, dan masih tanah urugan, semua mengawang - awang, kecuali jumlah Deposit yang (lagi-lagi) sangat murah. 

Tanpa pikir panjang, akhirnya kami menutup mata untuk membelinya. Selasa berikutnya kami sudah membayar Booking Fee dan sekitar sebulan kemudian, kami sudah menandatangani perjanjian kredit. Kemudian, barulah kami berfikir bagaimana membayar angsuran dll.. Hahaha. 

Saat ini, sudah hampir 1,5 tahun kami menghuni rumah baru tersebut. Rumah yang kami beli tanpa rencana dan hanya bermodal nyali. Rumah yang setelah kami huni, tak lagi terasa jauh. 1 hingga 2 jam ke kantor (bukankah ini jarak normal untuk masyarakat urban Jakarta? :D), kurang dari 500 meter ke Sekolah International Global Jaya Depok & Rumah Sakit Citra Medika, dan sekitar 2 km ke imigrasi Depok. 

Buat kami, rumah kecil ini sangatlah cukup. Cukup untuk kami sekeluarga menjejak tanah dan tumbuh bersama." 

We may not build a big house, but we build a big love!

PS : If you're around Depok, please dropping by just for a cup of coffee, or tea, and bunch of conversations. We're pleased to welcoming you ;")