Friday, May 31, 2013

Jayapura, dan kopi yang tak ada.

Bepergian selalu membuat saya berdebar - debar. Antara senang sekaligus ketakutan. Antara gembira sekaligus khawatir. Dan itulah yang saya rasakan ketika memulai perjalanan ke enam kota. Jogja, Pontianak, Lampung, Makassar, Aceh dan Jayapura.

Mungkin inilah yang membedakan saya dulu dan sekarang. Kalau dulu kadang kegembiraan saya menyambut sebuah perjalanan lebih besar daripada menghawatirkan hal - hal lainnya. Sekarang, porsi keduanya diputar balikkan.

Dan semakin besar pula kekhawatiran saya menjelang perjalanan ke Jayapura. Jika sebelumnya ke Aceh yang memakan 3 jam perjalanan saja membuat saya deg-degan, kali ini dua kali lipatnya.

Baiklah, mari saya ceritakan saja.

Perjalanan saya ke Jayapura sebenarnya sangat singkat, hanya 3 hari saja. Itupun untuk bekerja. Berangkat pada Kamis malam (23 Mei), dan setelah transit masing-masing 45 menit di Makassar dan Biak, akhirnya saya sampai di Jayapura jam 7 pagi waktu setempat. Perbedaan waktunya hanya 2 jam saja, tapi kondisi geografisnya sangat jauh berbeda. Jam 7 pagi wkatu Jayapura seperti pukul 9 pagi waktu Jakarta. bertiga ( saya, Dita dan Bang Enda ) menginap di Aston Jayapura. Perjalanan bandara ke kota Jayapura sendiri memakan waktu 1,5 jam, jarak yang benar-benar jauh. Karena kedatangan kami yang terlalu pagi dan kamar belum siap ditempati, kami menunggu kurang lebih 1 jam di lobby sebelum akhirya bisa check in dan istirahat.

Jayapura sendiri jauh dari bayangan saya sebelum sampai disana. Kota ini ternyata jauh dari kata primitif. Meskipun belum ada bioskop, tapi sudah ada Mall Jayapura disana. Penduduknya pun banyak yang transmigran, dari berbagai daerah di Indonesia. Dibandingkan dengan Makassar, pekerja di bidang jasanya jauh lebih bisa melayani.



Setelah istirahat, kamipun kelaparan dan mencari makan. Berkat rekomendasi seorang teman, Ziipy, siang itu kami makan di restaurant seafood , Cirita Seafood , yang terletak di RUko Sentra Bisnis, dan langsung menghadap ke teluk. Untuk makanan, mirip -mirip dengan masakan Manado atau Bali. Bumbu Kuning yang mirip ayam betutu, dan sambal Rica-Rica yang mirip dengan sambal matah. Jadi semua saya suka! Saya pun sempat mencicipi Papeda, yakni makanan pengganti Nasi yang terbuat dari sagu. Untuk ini saya hanya bisa bilang...yucks!

Makanan lain yang saya coba adalah Ikan Mujair di RM Nusantara. Ada 2 rumah makan Nusantara di Jayapura, satu di belakang Mall Jayapura (yakni di tengah kota) dan satunya lagi di Sentani, tidak terlalu jauh dari Bandara Sentani. Jika ingin membuat janji, pastikan di RM Nusantara yang mana, karena Jayapura ke Sentani sendiri seperti saya bilang tadi, 1,5 jam :D

bang @enda , @_dita, @dewikr dan @ziipy
Di Jayapura yang istimewa adalah seafoodnya, sekaligus pemandangan kota pada malam harinya. Untuk pemandangan kota malam hari ini bisa memilih makan malam di Rumah Makan Bagus Pandang, yang memang sangat bagus pemandangannya. Bisa juga menikmati malam di Bukit Pemancar, atau Angkasa, hanya saja keduanya tidak ada restaurant terkenal yang bisa dicoba.

Cukup mengenai makanan. Kali ini mari kembali ke kotanya. Jayapura yang dibangun dengan memotong/meratakan bukit, memiliki area sangat terbatas untuk dikembangkan. Selain itu, akses kota ini dengan kota-kota di luarnya pun sangat minim. Jalan yang berbukit-bukit membuat kotanya sulit diakses dari kota lainnya. Pemandangannya pun standard, dengan  teluk dan danau Sentani yang hanya bisa dinikmati dari ketinggian. Jika ingin bermain di pasir, maka harus menyetir setidaknya 1 - 2 jam sebelum akhirnya tiba di Harlem atau Base-G Beach. Sayangnya, lagi-lagi kami tak sempat kesana.


Object wisata lain yang bisa dikunjungi disini adalah Douglas McArthur Hill. Yakni base-camp militer di jayapura. Untuk ke McArthur ini, harus menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam ke arah Sentani, jadi bisa dikunjungi ketika perjalanan ke Bandara Sentani. Pemandangan dari bukit ini adalah pemandangan Danau Sentani dan Bandara, memukau! Foto disamping adalah buktinya, sangat indah bukan?

Di Jayapura, sangat jarang ditemui kedai kopi. Jika di kota-kota lain saya menyempatkan ngopi di warung kopi, di Jayapura saya ngopi di Coffee Shop. Mungkin orang - ornag jayapura tidak punya tradisi ngopi kali ya?

Terlepas dari kekecewaan saya karena tidak adanya warung kopi, Jayapura sangat istimewa. Dan saya merasa beruntung pernah mengunjunginya. Mungkin nanti, saya akan kembali. 

Monday, May 20, 2013

Menghitung nikmat.




Rasanya sudah sangat lama saya tidak menulis.

Meskipun seringkali saya rindu, tapi seringkali keinginan untuk menulis terganjal pada kemalasan - kemalasan dan alasan yang ,-entah bagaimana-, selalu saja bisa saya temukan. Pekerjaan yang menumpuk, kesibukan yang diada-adakan, atau alasan apapun yang bisa menutupi keengganan saya untuk menulis panjang lebar.

Meskipun demikian, saya berusaha untuk tetap meluangkan waktu membaca beberapa blog teman-teman lama, yang hebatnya masih terus menulis hingga sekarang. Kesibukan masing-masing (lagi-lagi saya menyebut kata"sibuk"!) membuat kami jarang bertemu, tapi dengan membaca blog-blog mereka, membuat saya setidaknya tahu apa yang terjadi dengan teman- teman tersebut saat ini. Seru rasanya mengikuti perjalanan mereka, dari yang masih sendiri, hingga beberapa beranak-pinak, meski beberapa tetap masih sendiri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Seringkali saya merasa hidup saya membosankan. Apalagi jika membandingkannya dengan kehidupan teman - teman. Saya tak lagi membaca banyak buku, bahkan mungkin tidak ada satu bukupun yang selesai saya baca 2 tahun ini. Bacaan yang agak lebih panjang yang saya baca adalah blog teman-teman itu. Bukan karena tak ada waktu, tapi lebih lagi saya bosan membaca.

Saya tak lagi jalan - jalan berpetualang. Meski 4 bulan terakhir saya melakukan perjalanan dari ujung barat ke ujung timur Indonesia, tapi itu bukan petualangan, melainkan pekerjaan. Dan kembali saya menyadari betapa berbedanya saya dulu dan kini. Tak ada lagi energi untuk mengeksplore kota - kota itu lebih lama. Mungkin suatu hari, saya akan menuliskan tentang kota - kota itu dalam kata-kata. Saya kadnag merasa tak lagi muda, sehingga yang ingin dilakukan adalah tinggal di rumah dan bersama keluarga.

Keluarga. Mungkin ini adalah bagian terseru saya saat ini. Semua hidup saya adalah untuk mereka.

Anak laki-laki yang tumbuh dengan sangat pesatnya. Sudah 3 tahun saja usianya. Sudah merengek - rengek minta sekolah yang ada taman bermainnya. Sudah bisa berdebat hari ini mau pake kaos apa dengan sepatu yang mana. Sudah bisa merayu-rayu "mama cantik deh.." agar saya meloloskan permintaannya. Banyak cerita tentangnya, sangat banyak hingga saya lupa mencatatkannya :D

Selain itu, hidup saya adalah ayahnya. Lelaki yang menghujani saya dengan cinta, dan selalu membuat saya merasa sangat bersyukur bisa bersamanya.

Dan saya masih mengeluhkan hidup yang begitu-begitu saja?

Mungkin saya harus kembali belajar menulis. Menghitung syukur atas berkat yang telah saya terima. Menyebut nikmat sekaligus mengingatnya. Terlebih lagi, mencatat kebaikan semesta.