Thursday, June 19, 2008

tentang kota metropolitan

jakarta malam hari tak seburuk siang. mungkin karena topeng - topeng sudah dilepaskan. dan tampaklah wajah - wajah tanpa kepalsuan. ini mungkin sisa - sisa, yang mampu bertahan. murni memang tak pernah mati.

etalasi dengan lampu - lampu besar sudah dipadamkan. pertunjukan telah usai. seperti panggung, gerai yang berserakan seakan menawarkan idelaisme mimpi. tak peduli kepada siapa saja, apa saja. mungkin pada perempuan berkacamata gucci dan bersepatu manolo blahnik, atau pada ibu - ibu peminta yang menggendong anaknya.

kedai kopi buka untuk dua puluh empat jam. segelas seharga sepiring makanan. murah untuk ukuran manusia-manusia cosmopolitan, tapi amit - amit untuk penjaja makanan di pinggir jalan. segelasnya sama dengan dua puluh gelas kopi ketika kita membelinya di mbok-mbok kaki lima.

lampu kota menerangi beberapa sudut yang ingin diterangi. selebihnya, biarkan saja tetap tenggelam dalam keremangan kota. karena disitu mungkin ada luka, yang tak ingin dipertontonkan pada kita.

*catatan ketinggalan. dicatatkan untuk memperpanjang ingatan.
jakarta, 6 juni 2008.

6 comments:

Anonymous said...

yg metropolitan (sebagian) daerah kotanya, tapi penduduknya justru kebanyakan masih tradisional -- gagap status :D

The Bitch said...

hyuuuuukkk... kita saling berjembut. xixixi...

jadi, kapan mabuk2an di kosku berdua aja sambil rokokan dan memaki apapun yang bisa dimaki?

ydh said...

klo kesini jangan lupa brem, arak bali, sama arak api yak *malak*

hohohohohoho, brem yang kemaren enak. thx :P

Pojok Hablay said...

metropolitan, dimana semua kontradiksi bercampur aduk

Anonymous said...

mngkn metropolitan memang sesuatu yg selalu melelahkan.ya gak,mbak?

Anonymous said...

ngGak sperti yg kita liat .