Rabu minggu lalu, suami tiba-bisa mengirimkan pesan melalui handphone.
"Ma, ke Rolling Stone (cafe) yuk! Nanti malam ada launching album Iwan Fals."
Dan tanpa pikir panjang saya langsung iyakan. Ketika menggemari sesuatu, termasuk penyanyi/group band, saya tidak bisa dibilang fans sejati. Saya enggan bersusah payah mengeluarkan uang untuk nonton konsernya. Paling banter hanya beli CD nya saja, itupun jika saya benar-benar suka.
Maka begitulah saya akhirnya berada di Rolling Stone Cafe malam itu. Sebenarnya untuk ukuran Jakarta, jam 6.30 belum bisa dibilang malam, karena sebagian besar pekerja baru keluar meninggalkan kantor pada jam segitu. Tidak lama setelah saya sampai, konser dimulai. Agak terkaget-kaget, jam 7 konser musik sudah dimulai! Tanpa band pembuka, langsung pemotongan tumpeng dan kemudian Iwan Fals menyanyi.
Terakhir kali saya melihat konser Iwan Fals mungkin sudah belasan tahun lalu, ketika masih di Bali, pada suatu pertunjukan Soundrenalin entah yang ke berapa.
Sehingga pada malam seminggu lalu, penampilan Iwan Fals benar-benar meruntuhkan semua bayangan saya akan dia. Saya tak lagi melihat sesosok gagah, melainkan -meskipun tetap gagah juga, ding.- saya melihat sesosok lelaki tua berambut putih semua. Jika tak secara kurang ajar saya bilang, saya melihat seorang kakek-kakek, yang tak jauh beda dengan bapak saya, kakek penjual alat kebun di pinggir jalan raya atau semacamnya. Lalu tiba-tiba saya merasakan patah hati.
Lalu dia mulai bernyanyi. Raya, lagu pertama yang dinyanyikan adalah tentang anak lelaki terakhirnya. Tak bisa dielakkan, lagu itu seperti mengungkapkan apa yang saya ingin katakan pada ghandar.
hiduplah hidup, seperti yang kau mau...
empati yang saya rasakan mungkin berlebihan, tapi Iwan Fals seperti menyuarakan apa yang orang tua ingin katakan.
2 lagu lainnya berkolaborasi dengan Lea Simadjuntak, yang mempunya suara magis dan menghipnotis semua yang hadir. Hingga entah lagu yang keberapa, Iwan Fals benar-benar membuat saya sedih karena patah hati lagi. Dia membuat lagu dengan judul Kopi Top, mungkin dibuat untuk promosi kopi yang selama ini meng-endorse nya, atau memang dia mengarang lagu tersebut hanya karena ingin.
Perasaan patah hati itu tak lama, karena selanjutnya saya merasa sedih. Sedih untuk Iwan Fals yang terlihat begitu tua, Iwan Fals yang membuat lagu untuk kopi yang mensponsorinya. Sedih untuk seseorang yang karena keadaan, harus melakukan sesuatu yang bukan seperti dia dulu.
Tapi, bukankah setiap orang memang tak bisa selalu begitu-begitu saja? Entah karena umur yang menua, entah karena perjalanan yang semakin lama, atau entah karena keadaan yang kadang mengecewakannya. Seseorang terbentuk oleh itu. Dan mungkin inilah Iwan Fals pada bagian ini.
Hingga pada akhir lagu, pada perjalanan pulang, pada keesokan harinya ketika saya membaca wawancara ekslusifnya di Majalah Rolling Stone, saya menyarari suatu hal...
Iwan Fals tidak sungguh-sungguh berubah, karena tidak ada orang yang benar-benar berubah. Selalu ada saja yang tertinggal. Entah keyakinan, maupun prinsip-prinsip yang dipegangnya. Atau semangat.
No comments:
Post a Comment