Keputusan untuk tingal dan menetap di Jakarta bukanlah keputusan yang dibuat semalam. Ketika saya memutuskan untuk jatuh cinta pada seorang lelaki yang kini menjadi partner perjalanan dalam hidup saya, saya sudah mulai memikirkan tentang kemungkinan tersebut. Memang pada selanjutnya semua tak semudah memilih hitam atau putih, tetapi ketika kaki saya sudah mulai melangkah meninggalkan Bali, keputusan itu sudah bulat, iming – iming tentang senja dan keindahan lainnya tak menggoyahkan niat saya untuk melangkah.
kini, disinilah saya. Hamper tiga minggu dan saya memang masih bertahan. Sesekali muncul kerinduan pada zona sebelumnya, tapi itu tak lebih dari godaan kenangan yang seringkali menyelinap diam – diam ketika kita sedang berusaha menikmati kekinian, dan mau tak mau kembali menyeret kita ke masa yang telah lewat, menghadirkan perasaan hangat sekaligus nyeri menyadari semua tak lagi sama.
Menikmati Jakarta buat saya seperti ketika sedang menyantap sepotong choco cheese cake di sebuah café di pinggir jalan raya seputaran Sanur. Saya tak suka menjadikannya hidangan penutup, karena pasti akan membuat saya kekenyangan, bahkan terkadang sampai mual. Seperti itulah Jakarta, yang bisa dinikmati ketika masih mempunyai ruang untuk memaklumi apa yang nanti ditemui di jalan. Kemacetan, ketidaknyamanan, polusi, pengemis jalanan, asap kendaraan, apa saja.
Hal yang dulu sering saya lakukan adalah menimati choco cheese tersebut dengan segelas teh, buku atau tanpa melakukan apapun hanya dengan mengamati lalu lalang pejalan kaki di trotoar. begitu pulalah Jakarta menurut saya, sesekali menyenangkan berjalan – jalan dengan beberapa teman, tapi terkadang yang diperlukan adalah kesendirian. Karena dengan kesendirian, saya menjadi bisa lebih memberi makna terhadap apa yang saya temui, tanpa adanya campur tangan opini yang terkadang justru membuat absurd makna sebenarnya. Seorang teman pernah berkata, it’s you that give the meaning of something. Karena itulah keterasingan di hiruk pikuk Jakarta tak selalu mengerikan, dengan kembali pada diri sendiri, saya merasa utuh, apapun yang terjadi.
Dan seperti choco cheese yang hanya nikmat dinikmati sesendok demi sesendok tanpa harus terburu menghabiskannya, seperti itu pulalah Jakarta. Selayak satu potong penuh, Jakarta hanya nikmat ketika dinikmati sesendok demi sesendok tanpa harus terburu menghabiskannya. Dan Jakarta hanya akan menjadi neraka ketika menikmatinya dengan tergesa. disini, alam semesta berada diatas kehendak manusia. wajar saja untuk mempunyai keinginan berkendara dengan nyaman, berangkat dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa harus mengalokasikan sekian jam perjalanan, tetapi di jalan, kemacetan dan orang - orang yang sedemikian banyaknya belum tentu mengijinkan saya untuk melakukan apapun yang saya inginkan.
mengeluh? percuma, toh tak ada yang mampu dilakukan.
lalu apakah saya telah memutuskan untuk jatuh cinta pada ibukota? saya belum mampu menjawab pertanyaan itu. seperti analogi terakhir, saya mungkin masi baru merasakan sekian sendok dari sepotong choco cheese cake yang tersisa. dan sepertinya, saya masih punya banyak waktu untuk menikmati sendok - sendok berikutnya.