Monday, July 08, 2013

Kampanye Politik di Media Sosial




Media sosial telah menumbuhkan persepsi baru terhadap kata “kampanye”. Jika sebelumnya kata “kampanye” dikenal masyarakat ketika menjelang pemilu atau pemilihan kepala daerah, sejak maraknya media sosial, kata kampanye memiliki pengertian yang lebih luas dari sebatas kampanye politik. Di media sosial, semua orang bisa  melakukan kampanye yang tidak berkaitan dengan politik. Baik itu mengkampanyekan kegiatannya, maupun mengkampanyekan brand/merek barang tertentu.

Media sosial dipercaya bisa menjadi media yang murah untuk mengumpulkan massa, atau dalam tahap ini adalah dukungan, sebelum akhirnya kampanye itu diwujudkan dalam aksi nyata. Sebut saja beberapa kegiatan yang berawal dari media sosial, yaki Koin Keadilan untuk Prita Mulyasari, dan belum lagi banyaknya Social Movement yang merupakan inisiatif anak-anak muda seperti IDBerkebun, Akademi Berbagi maupun Coin A Chance!

Setelah media sosial turut andil dalam kemenangan Barrack Obama di pemilihan presiden AS tahun 2008, media inipun dilirik oleh beberapa politikus untuk mengkampanyekan kegiatan politiknya. Di Indonesia, kemenangan Jokowi – Ahok dalam pemilihan DKI 1 juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kampanye di media sosial. Terakhir dan masih segar, adalah kemenangan Ridwan Kamil dalam pemilihan Walikota Bandung bulan lalu. Kemenangan ini menjadi menarik karena sosok Ridwan Kamil yang selama ini tidak menjadi tokoh terkemuka di peta politik, melainkan  dikenal sebagai penggagas social movement IDBerkebun,  tiba-tiba mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan walikota! Tak bisa dipungkiri, peta politik dikacaukan oleh contoh demokrasi sesungguhnya, yakni media sosial.

Jika sebuah brand agency terbiasa membuat kampanye untuk sebuah product / barang, kali ini mendapatkan tantangan lain yakni mengkampanyekan seseorang untuk mendapatkan dukungan. Apakah teori-teori yang selama ini bisa digunakan untuk mengakampanyekan sebuah brand bisa diterapkan dalam kampanye politik di media sosial? Nanti dulu!

Meskipun banyak contoh keberhasilan seorang tokoh memenangkan pemilihan suara, bukan berarti kesuksesan kampanye politik di media sosial otomatis akan otomatis sukses pula dalam pemilihan daerah atau pemilihan presiden.

Media sosial sekali lagi hanyalah media, sebuah bagian kecil media yang digunakan untuk berkampanye, atau lebih tepat jika disebut berkomunikasi menyampaikan pesan. Dia tidak bisa berdiri sendiri, melainkan juga harus didukung media lainnya, antara lain media massa yang saat ini tetap terluas jangkauannya. Karena media sosial dan media massa merupakan satu bagian, maka pesan yang disampaikan haruslah bersinergi dan selaras, saling mendukung.

Selain itu, yang tak kalah penting dalam kampanye di media sosial adalah produk/barang yang ingin dikomunikasikan. Dalam kampanye politik, obyek ini berarti reputasi si tokoh. Pencitraan Barrack Obama, Jokowi maupun Ridwan Kamil di media sosial bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan instan secepat penambahan follower / fans. Media sosial lagi-lagi hanya sebagai media untuk menampilkan reputasi yang telah mereka bentuk bertahun-tahun sebelumnya. Jika reputasi sesungguhnya tak bagus, maka media sosial hanya akan menjadi boomerang, bukan? Karena di media ini, siapapun bisa memuji, mengkritik dan mengeluhkan apapun yang dirasa tak sesuai. Hal ini bisa dilihat di Facebook Fanpages Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang baru diluncurkan 2 hari lalu di Istana Bogor. Selain banyak yang memuji kinerjanya, banyak pula yang mempertanyakan kebijakannya. Tapi, ini contoh demokrasi sesungguhnya bukan?  Jika seorang kepala Negara sudah bersedia untuk terjun ke media sosial, selayaknya Beliau terbuka mendengarkan suara rakyatnya.

Dan kini, pemilihan presiden RI di 2014 sudah semakin dekat. Media sosial menjadi semakin riuh oleh kicauan politik. Para tokoh politik berduyun-duyun membuat akun Twitter dan Facebook. Sebut saja Prabowo, Hatta Rajasa dan terakhir Mahfud MD yang juga memiliki akun yang dikelola oleh Timnya di @MahfudMD_Info serta banyak nama lainnya . Pengguna media sosial yang sebagian besar anak muda dan merupakan first voter dinilai menjadi pos suara terbesar yang bisa dipengaruhi untuk pemilihan presiden nanti. Tapi efektifkah media sosial dalam menentukan masa depan Indonesia melalui pemilihan presiden 2014 nanti ? Mari kita lihat! (dew)

*gambar diambil dari classbrain.com
**postingan ini dituliskan pula di http://inmarkdigital.com

Thursday, July 04, 2013

#AlbumRaya Iwan Fals

Rabu minggu lalu, suami tiba-bisa mengirimkan pesan melalui handphone.

"Ma, ke Rolling Stone (cafe) yuk! Nanti malam ada launching album Iwan Fals."

Dan tanpa pikir panjang saya langsung iyakan.  Ketika menggemari sesuatu, termasuk penyanyi/group band, saya tidak bisa dibilang fans sejati. Saya enggan bersusah payah mengeluarkan uang untuk nonton konsernya. Paling banter hanya beli CD nya saja, itupun jika saya benar-benar suka.

Maka begitulah saya akhirnya berada di Rolling Stone Cafe malam itu. Sebenarnya untuk ukuran Jakarta, jam 6.30 belum bisa dibilang malam, karena sebagian besar pekerja baru keluar meninggalkan kantor pada jam segitu. Tidak lama setelah saya sampai, konser dimulai. Agak terkaget-kaget, jam 7 konser musik sudah dimulai! Tanpa band pembuka, langsung pemotongan tumpeng dan kemudian Iwan Fals menyanyi.

Terakhir kali saya melihat konser Iwan Fals mungkin sudah belasan tahun lalu, ketika masih di Bali, pada suatu pertunjukan Soundrenalin entah yang ke berapa. 

Sehingga pada malam seminggu lalu, penampilan Iwan Fals benar-benar meruntuhkan semua bayangan saya akan dia. Saya tak lagi melihat sesosok gagah, melainkan -meskipun tetap gagah juga, ding.- saya melihat sesosok lelaki tua berambut putih semua. Jika tak secara kurang ajar saya bilang, saya melihat seorang kakek-kakek, yang tak jauh beda dengan bapak saya, kakek penjual alat kebun di pinggir jalan raya atau semacamnya. Lalu tiba-tiba saya merasakan patah hati.

Lalu dia mulai bernyanyi. Raya, lagu pertama yang dinyanyikan adalah tentang anak lelaki terakhirnya. Tak bisa dielakkan,  lagu itu seperti mengungkapkan apa yang saya ingin katakan pada ghandar.

hiduplah hidup, seperti yang kau mau...
 
empati yang saya rasakan mungkin berlebihan, tapi Iwan Fals seperti menyuarakan apa yang orang tua ingin katakan.

2 lagu lainnya berkolaborasi dengan Lea Simadjuntak, yang mempunya suara magis dan menghipnotis semua yang hadir. Hingga entah lagu yang keberapa, Iwan Fals benar-benar membuat saya sedih karena patah hati lagi. Dia membuat lagu dengan judul Kopi Top, mungkin dibuat untuk promosi kopi yang selama ini meng-endorse nya, atau memang dia mengarang lagu tersebut hanya karena ingin.

Perasaan patah hati itu tak lama, karena selanjutnya saya merasa sedih. Sedih untuk Iwan Fals yang terlihat begitu tua, Iwan Fals yang membuat lagu untuk kopi yang mensponsorinya. Sedih untuk seseorang yang karena keadaan, harus melakukan sesuatu yang bukan seperti dia dulu.

Tapi, bukankah setiap orang memang tak bisa selalu begitu-begitu saja? Entah karena umur yang menua, entah karena perjalanan yang semakin lama, atau entah karena keadaan yang kadang mengecewakannya. Seseorang terbentuk oleh itu. Dan mungkin inilah Iwan Fals pada bagian ini. 

Hingga pada akhir lagu, pada perjalanan pulang, pada keesokan harinya ketika saya membaca wawancara ekslusifnya di Majalah Rolling Stone, saya menyarari suatu hal...

Iwan Fals tidak sungguh-sungguh berubah, karena tidak ada orang yang benar-benar berubah. Selalu ada saja yang tertinggal. Entah keyakinan, maupun prinsip-prinsip yang dipegangnya. Atau semangat.