Tuesday, May 20, 2014

cinta dan ruang lapang bernama empati


: selepas siang, pada suatu hari. 

beginilah rutinitas yang saya lakukan setelah makan siang : membuat segelas kopi, membuka situs 8tracks.com, memilih playlist sesuai mood dan menyisihkan beberapa waktu untuk mendengarkan musik-musik yang ada disitu. membuka halaman lain untuk mencari liriknya, untuk mengetahui siapa yang menyanyikannya, kapan lagu itu dibuat, yada yada yada.

30 - 40 menit yang sangat menyenangkan. mengesampingkan beberapa pekerjaan yang mungkin belum selesai, untuk sejenak membuat diri saya merasa "penuh" dengan melakukan hal-hal yang saya senangi.

dan siang ini, satu track menyita 45 menit waktu berikutnya, berkutat dengan "sleeping at last."

musisi, yang jika saya mendengarkan lagunya, seketika membuat saya jatuh cinta. jatuh cinta pada apa saja. pada segelas kopi yang baru saya seduh. jatuh cinta pada sebuah foto di instagram, jatuh cinta pada tulisan di halaman tumblr yang dipostkan oleh seseorang yang tidak saya kenal. jatuh cinta pada kartu pos yang menempel di dinding kubikel toska.

seperti itulah perasaan yang saya rasakan ketika mendengarkan lagu-lagu sleeping at last, saya seakan dihujani oleh cinta yang sangat banyak, hingga melimpah ruah dan membuat saya ingin menyebar-nyebarkan ke segala hal yang ada di sekeliling saya. saya jatuh cinta dengan membabi buta.

tidak heran jika mereka terlibat dengan "to write love on her arms" , sebuah gerakan yang memberikan dukungan pada orang-orang berjuang untuk mengatasi depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri. karena yang dibutuhkan untuk membantu orang-orang seperti ini hanyalah..cinta.

karena cinta yang membesarkan jiwa kita, sehingga kita punya ruang yang lebih lapang untuk dihuni oleh orang lain, oleh hal lain. cinta melahirkan ruang-ruang lapang yang membuat kita bernafas dengan lebih leluasa. sebuah ruang yang jika sedikit saja kita bagikan, bisa menjadi alasan untuk seseorang bertahan. seperti tulisan ini ....

Relapses are real, and sometimes the darkness wins; however, one lost battle does not mean a lost war. It’s not a reason to retreat. If anything, it makes one stronger, braver, and more courageous than ever before. There is a lot of triumph and heart involved in standing up after a relapse, giving yourself a second chance, or maybe even a tenth chance. It’s such a beautiful thing to dream of something better.You are worth recovery. Even in the times when it seems you have become your own enemy, you are still worthy. Even if you lose comrades along the way, you are still worth the fight.Help is not something that people only ask for in times of desperation. In those in-between days, when it all seems never-ending or worthless, we should reach for hope and love all the more. Admitting that we are weak, scared, or losing control is never shameful; it’s human. This war is won in alliances and partnerships. We’ll always need that extra push when it’s time to curse, scream, and kick at the darkness.
mari jatuh cinta setiap hari dan lahirkan ruang-ruang lapang bernama empati.

Friday, May 16, 2014

maaf yang (tidak) panjang

: untuk seorang teman. 

Waisak baru saja lewat. Momen ini, kukira adalah pengingat akan dirimu. Pengingat kalau kita pernah muda. Pengingat bahwa kita pernah cukup nekad. Pengingat bahwa kita pernah punya banyak daya, atau tepatnya nyali untuk menggelandang di Jogja, menyewa motor lalu ke Mendut, berakhir dengan Waisak di Jogja. Pengingat kesenangan-kesenangan tanpa pikir panjang yang kita lakukan bersama. 

Dan ini, adalah Waisak 5 tahun kemudian. 
Selamat merayakan hari raya Waisak. Semoga selalu damai, di hati kita, di dunia. 

Ucapan yang terlambat pastinya, bukan karena aku lupa, tapi karena baru sekarang aku punya keberanian untuk mengatakan ini padamu. Setelah bertahun - tahun, untuk apa yang terjadi di antara kita aku menyadari, aku hanya berlari. Selama ini, seringkali kukatakan, aku adalah orang yang tidak menyukai konflik dan lebih sering menghindari. Mungkin, itu semua hanyalah alasan karena aku ingin melarikan diri. 

Padahal, tidak semua orang bisa melarikan diri. hanya orang-orang yang bisa melupakan, yang bisa berlari. selebihnya, kenangan adalah muatan yang tidak bisa kita tinggalkan di belakang. 

Dan momen Waisak, pas untuk mengawali surat yang panjang dan mungkin akan membosankan ini.

Apa kabarmu, Non? 

Non. 

Mungkin panggilan ini lebih banyak kita gunakan dulu, ketimbang memanggil nama. Sehingga ketika aku menuliskan, "dear, kamu.." ada yang janggal disana. Lalu aku coba mengingat-ingat lagi, bagaimana dulu aku suka memanggilmu. Kupikir memang aku lebih sering memanggilmu Non, daripada namamu sendiri. Mungkin (lagilagi mungkin), karena panggilan itu menyamarkan selisih umur kita, mencairkan jarak - jarak dibandingkan aku harus memanggilmu dengan panggilan hormat semacam Mbak, atau Mbok. 

Panggilan yang lambat laun, memangkas sikap sopan santun antara aku dan kamu karena jarak umur kita. 

Dan kupikir, karena sopan santun yang terpangkas itulah, secara tak sadar membuatku kurang ajar padamu. Kekurang ajaran yang akhirnya membuat jarak di antara kita melebar. Kekurangajaran untuk secara semena - mena masuk ke area pribadimu, dan memasakkan pemikiranku padamu. Dulu. 

Karena tidak seharusnya aku begitu. Karena seharusnya, seberapapun dekat persahabatan kita, kamu tetaplah kamu, dan aku tetap menjadi diriku. Seharusnya aku bisa menerima keputusanmu tanpa sok mengukur dan menilai. Seperti yang kamu lakukan dulu padaku. Seharusnya aku pun bisa bersikap begitu. 

Dan untuk itu, Non.. aku minta maaf.

Aku minta maaf untuk kekurangajaranku. Untuk perkataanku yang tentunya membuatmu sebal. Untuk kelancanganku memasuki area pribadimu. Untuk tidak bisa memahami dan berada di pihakmu ketika kamu membuat keputusan. Untuk itu, aku minta maaf. 

Jika kukatakan itu semua karena aku menyayangimu, tentulah hal itu terdengar sebagai alasan basi. Karena meskipun aku menyayangimu, hal itu tidak lantas bisa membuatku semena - mena. 

Jadi, mari katakan demikian : 
Aku yang menyayangimu, telah berlaku kurang ajar. Dan aku ingin meminta maaf untuk itu. Maaf tanpa alasan yang dipanjang-panjangkan selain yang sudah kukatakan. 

Selamat hari ini, Non. Disini sudah mulai menjelang malam. Dan aku sedang duduk di sebuah kedai kopi sendirian. 

I miss you, 
-dew-

Friday, May 09, 2014

teman perjalanan waktu senggang

Suatu sore, saya sedang duduk di sebuah coffee shop di sekitaran Kuningan. Sebuah kawasan elit yang pada jam - jam pulang kantor seperti ini, ramai berseliweran orang-orang yang mungkin baru saja selesai dengan pekerjaannya, lalu pulang, atau menuju pertemuan selanjutnya.

Seperti saya hari ini, yang sedang menunggu janji bertemu dengan seorang teman.

Manusia berlalu lalang, lebih banyak yang sendirian dibandingkan berkelompok. Dengan headset yang terpasang di telinga, entah mendengarkan lagu, atau bercakap dengan teman di seberang sana. Lagi-lagi seperti saya, yang duduk sendirian, dengan headset terpasang di telinga. Mendengarkan musik, sambil menuliskan catatan ini.

Mungkin benar, telephone genggam adalah teman yang paling bisa di andalkan ketika sendirian. Dia menjadi one-stop-solution yang menawarkan segala macam hiburan yang membuat waktu menunggu, tak lagi membosankan. Mendengarkan musik, bermain games, menonton film,  bahkan mengerjakan pekerjaan. Apapun yang harus dilakukan, semua bisa dilakukan dengan telephone genggam.

Setidaknya itu yang terjadi dengan saya. Kebutuhan untuk selalu tersambung dengan pekerjaan dan pertemuan-pertemuan dengan klien yang seringkali dilakukan di luar jam kerja, mengharuskan saya memilih telephone genggam yang selain fiturnya lengkap juga harus ringan ditenteng kemanapun.

Tahan banting, nyaman dipakai bekerja (yang mana ukurannya tidak terlalu kecil), serta ringan. Nah, biasanya ketiga fitur itu jarang bisa hadir bersamaan. Biasanya yang ringan tidak tahan banting dan kecil, kalau mau tahan banting biasanya hardware nya yang kokoh, yang mana artinya berat. Biasanya seperti itu. Hingga akhirnya saya datang ke Launching Asus Zenfone beberapa waktu lalu.


Sepertinya saya tahu dimana saya bisa menemukan 3 kriteria di atas dalam satu handphone. Asus Zenfone. Tepatnya sih Asus Zenfone 5. Ukurannya pas, 5 inchi (tidak terlalu kecil sehingga nyaman untuk membalas email, serta tidak terlalu besar seperti tablet). Beratnya cuman 144 gram dan sangat tipis. Karena ini Asus, dimana biasanya produknya bandel alias tahan banting, saya berharap Asus Zenfone inipun sama.



Bentuknya pun sangat pas digenggam, belakangnya berbentuk kurva yang mengikuti lekuk tangan. Dengan kamera belakang di tengah - atas, meminilkan ganggungan ketika mengambil gambar. Layar LCDnya sendiri cukup bening, untuk handphone 5inchi seharga 2 jutaan. Belum lagi slot SIM nya yang ada 2, yang bisa dipakai jika punya lebih dari 1 nomor.


Sudah 2 minggu ini saya menggunakan Asus Zenfone ini. Dan sejauh ini cukup puas. Kebutuhan saya yang mobile dan terkadang harus membalas email dari mana saja, kebutuhan untuk bisa selalu dihubungi, kebutuhan untuk mengisi waktu sambil menunggu, atau kebutuhan untuk memotret - motret apa yang menarik di perjalanan, bisa terpenuhi.

Setidaknya, saya bisa berbagi cerita sambil menghabiskan segelas kopi seperti ini. Dan untuk saya yang #mudahbahagia , hal itu cukup.