Saturday, February 22, 2014

Lemper Jawa

Bukan bermaksud rasis, tapi memang begitulah tetangga yang pertama kali membuatnya, menyebut lemper jenis ini. Mungkin maksudnya lemper tradisional, yang ribet dan jauh dari kata praktis. dan Jawa adalah nama yang pas untuk menggambarkan hal itu bukan? :D

Yang membedakan lemper ini dengan lemper fushion alias masa kini (halah!), selain prosesnya yang ribet, adalah daya tahan yg lama tanpa pengawet. Hal ini dikarenakan beberapa proses yang harus dilewati sampai lemper siap makan.

Bahan - bahan:
- beras ketan 500gram
- santan kental dr 1/2 butir kelapa jadi 300ml.
- garam 1 sdt
- daun salam 3 lembar
- abon sapi/ayam/ikan secukupnya.
- daun pisang dan lidi/tusuk gigi untuk membungkus.

Cara membuat :
1. Kukus beras ketan selama 20 menit.
2. Sesaat sebelum ketan selesai dikukus, rebus air kelapa, garam dan daun salam hingga mendidih.
3. Masukkan ketan ke dalam air kelapa, aron lalu dikukus lagi kurang lebih 30 menit hingga matang.
4. Ambil sesendok ketan, isi dengan abon, bungkus daun pisang. Lakukan sampai ketan habis. Yang sabar ya! :D
5. Kukus kembali lemper yg telah dibungkus selama 20 menit

Voilaa...semua keribetan sebanding dengan enaknya lemper yg bisa dinikmati kok! Oiya..unt 500grm ketan bisa menjafi 20 - 25 bungkus.

Posted via Blogaway

Posted via Blogaway


Posted via Blogaway

Wednesday, February 19, 2014

tebu dan kata "cukup"


pagi ini saya melihat di wall teman kantor, mba susie,  gambar potongan tebu. tidak ada yang istimewa dari tebu, kecuali dia adalah batang yang saat ini hampir langka ditemukan, setidaknya di jakarta. dan melihatnya lagi pagi ini, seperti menyeret ingatan ke masa kanak-kanak, dimana ingatan tentang tebu adalah hal-hal yang menyenangkan.

saya berasal dari sebuah desa dimana ladang tebu sangat banyak jumlahnya. dan ketika musim panen tiba, tebu-tebu tersebut akan diangkut oleh cikar, gerobak besar yang ditarik oleh 2 sapi, dari ladang hingga ke tempat penyimpanan. biasanya, ketika musim panen tiba, kami (saya dan anak-anak lainnya) akan ikut sibuk ke ladang entah punya siapa, mengambil sisa-sisa batang tebu yang tidak diangkut. atau, kami diam-diam menarik batang tebu dari Cikar yang sedang berjalan. atau, kadang jika si bapak penarik cikar sedang berbaik hati, kami boleh menumpang Cikarnya sambil makan tebu, hingga sampai di rumah. kebetulan rumah saya berada di jalanan utama yang sering dilalui oleh Cikar.

suatu hari, karena keasyikan menunggu Cikar yang lewat mengangkut tebu, kami baru pulang menumpang Cikar ketika Maghrib hampir tiba. di samping rumah (jalan kecil yg sering dilewati cikar), ibu sudah menunggu dengan muka yang ampun nian menakutkannya. Waktu kecil, ketakutan saya bisa dihitung jari. Yang pertama adalah melewati pohon mangga besar yang usianya lebih tua dari kakak saya, yg memisahkan rumah simbah dan budhe. entah kenapa saya selalu membayangkan banyak setan bergelantungan saking besarnya pohon itu. Yang kedua adalah melihat ibu murka. karena jika ibu sudah murka, entah apa yang menyusul kemudian. Bisa cubitan yang akan membekas biru di paha, bisa juga jeweran yang menyakitkan telinga, atau hm..bonus yang menjadi hukuman.

ibu sudah sering melarang kami makan tebu, karena bisa bikin batuk lah, biar tidak keluyuran di ladang lah, dan tidak elok melihat anaknya menarik-narik batang tebu dari cikar. untuk membuat kami jera, ibu menghentikan cikarnya dan meminta beberapa batang tebu ke si bapak yang mengangkutnya. sebagai hukuman, beberapa batang tebu yang banyak jumlahnya itu..ibu suruh habiskan! kalau sekarang sih mungkin saya bilang, "ya ngga gitu juga kali bu...", tapi waktu itu jangankan ngeles, membantah sedikit saja bisa panjang urusannya. hahaha. maka dengan sangat terpaksa, kami menyesap batang-batang tebu itu hingga sakit tenggorokan :D

sebenarnya jika disuruh pilih, mending saya dijewer atau dicubit deh daripada dihukum menghabiskan tebu. jenis hukuman ini paling menyebalkan, karena akan meninggalkan trauma pada kesenangan kami. selain tebu, hukuman serupa dikenakan juga pada saya yang ngeyel untuk makan sambal bawang terus, hanya mau makan wortel dan tidak makanan lainnya, dll.

tapi memang begitulah tujuan ibu menghukum, agar kami anak-anaknya tidak terlalu fanatis menggemari sesuatu dan tahu batas-batas "cukup". agar kami tidak rakus, agar kami bisa memutuskan berhenti sebelum disuruh berhenti. agar kami tahu, sebaik/seenak apapun sesuatu, jika berlebihan tidak lagi menyenangkan. 

kalau menengok gaya pengasuhan orang tua dulu dan membandingkan dengan gaya-gaya orang tua sekarang, berasa banget betapa dulu saya dididik dengan sangat keras. meskipun demikian, tak ada sedikitpun dendam. karena pikiran bahwa orang tua melakukan itu adalah hal yang wajar. wajar karena orang tua ingin membekali anaknya dengan menanamkan nilai-nilai yang bisa menjadi pegangan di hidupnya kelak. wajar karena dilakukan dengan alasan, untuk kebaikan saya.

ini pulalah yang saya terapkan pada #anaklanang sekarang. komunikasi. jadi dia memahami alasan kenapa kami orang tuanya melakukan hal demikian. kenapa kami marah, kenapa kadang kami menghukumnya dengan tidak jajan, atau menonton tivi. kenapa dia terkadang tidak boleh memakan makanan tertentu padahal di kesempatan lainnya dia boleh. kenapa tidak semua yang diinginkan selalu ada. kenapa kami mengatakan tidak dan membuatnya kecewa. 

sekaligus saya mengajarkan tentang rasa percaya, bahwa dia memahami komunikasi kami dan tidak melakukannya sembunyi-sembunyi, seperti dia mempercayai bahwa apapun yang orangtuanya lakukan, adalah yang terbaik untuk kami.

Tuesday, February 18, 2014

Kangkung Taoco Teriyaki

Karena bosan dengan menu Mba Ila (koki kantor) yang baik hati dan selalu memasakkan makanan untuk kita, makan siang di kantor hari ini potluck.

Berhubung semua sudah membawa lauk pauk yg banyak banget macamnya, maka saya pilih masak sayur saja, dan dimasak di kantor pula.

Tumis kangkung taoco rasa teriyaki (nah lho!)

Bahan :
- 5 siung bawang merah
- 5 siung bawang putih
- 1 batang daun bawang
- 5 cabe rawit
- 1 sdm taoco
- 3 sdm teriyaki
- udang
- daging ayam dipotong tipis
- telur puyuh
- kangkung
- garam secukupnya

Note : udang, daging ayam dan telur puyuh disesuaikan dengan ketersediaan dan bisa diganti.

Cara memasak :
1. Tumis bawang merah hingga layu, masukkan bawang putih dan daun bawang. Lalu masukkan cabe dan daun bawang. Masak hingga kecoklatan.
2. Masukkan udang, ayam, telur puyuh. Tumis hingga warna dagung berubah. Masukkan taoco dan saos teriyaki, dan garam secukupnya.  Tambahkan sedikit air.
3. Masukkan kangkung, tumis hingga layu.

Dann...selamat makan siang hingga kenyang!


Posted via Blogaway

Monday, February 17, 2014

even so, we'll be living on



Have I told you that I'm the biggest fan of Eita recently? 

Yup, recently, after I saw him on Saikou No Rikon. Okay, I'm falling in love in a weird way. Di Saikou no Rikon, Eita berperan sebagai suami yang nerd dan perfeksionis, dan seringkali menyebalkan. Meski kalau dilihat track recordnya, Eita sendiri sudah membintangi beberapa serial j-drama dan film, tapi baru di Saikou No Rikon ini, bisa saya bilang dia...Outstanding! Padahal sebelumnya sudah nonton Tokyo Friends dan Nodame Cantabille, tapi mungkin peran / cerita yang biasa, tidak bisa membuat saya terkesan. Yah, muka Eita sendiri biasa dan ngga ganteng-ganteng amat, beda dengan Matsumoto Jun atau Haruma Miura yang gantengnya kebangetan. Tapi biasanya cowok-cowok yg gantengnya kebangetan lebih cepat bikin eneg sih :D

Setelah nonton Saikou No Rikon, akhirnya saya nonton drama / film Eita lainnya. Dimulai dengan Sunao Ni Narenakutte yg bercerita ttg persahabatan 5 pengguna Twitter di Shibuya, dimana Eita berperan sebagai forografer, Di Kyokuhoku Rhapsody sbg dokter di rumah sakit yg hampir bangkrut,  di Lucky Seven sebagai detektive, dan di April Bride dimana dia menjadi suami idaman semua wanita di dunia. Hahaha.



Ada satu drama yang sebenarnya tertarik untuk nonton, tapi membaca sinopsisnya, sepertinya ini bukan jenis drama yang bisa ditonton sambil menyeruput teh atau sambil menunggu suami jemput di kantor :D Hm, sebenarnya j-drama mempunyai tipikal yang sama, yakni punya alur cerita / ending yang tidak biasa, jadi setiap judul memang mengejutkan, atau akan menjadi sangat menyedihkan. Dan seperti itulah gambaran drama ini, "Soredemo, Ikite Yuku" yang akhirnya saya tonton di akhir pekan kemarin hingga hari ini (baru sampai episode 6 dari 11 episode). Drama ini bercerita tentang konflik emosi yang ditinggalkan pada 2 keluarga, setelah seorang anak laki-laki sebuah keluarga, membunuh anak perempuan keluarga lainnya yg berusia 7 tahun. Cerita dimulai 15 tahun kemudian setelah kejadian, dimana kakak tertua korban, Fukami (yg diperankan Eita), bertemu dengan adik perempuan si pembunuh, Futaba ( Hikari Matsushima) dan keduanya jatuh cinta. If you think this is about love story, then you got it wrong.

Dari situ mulai dibedah emosi masing-masing anggota keluarga, baik keluarga pembunuh maupun keluarga korban. Bagaimana peristiwa pembunuhan ternyata tidak hanya berefek kesedihan yang panjang pada keluarga korban yang ditinggalkan, dimana sang ibu, sang bapak, sang kakak mempunya alasan masing-masing untuk merasa bersalah terhadap kematian anak/adiknya. Rasa bersalah yang dicari-cari dan menjadi emosi yang mengendap untuk membenarkan kesedihan mereka selama 15 tahun. Membuat keluarga tersebut ,instead of, berkumpul bersama menghadapai kesedihan, justru tercerai berai. Sang kakak hidup dengan bapaknya, sang ibu menikah lagi. Ketika melihat ini, saya merasakan alasan yang dicari-cari dan kehidupan yang tercerai berai adalah sebuah pelarian. Pelarian seperti ketika kita tidak bisa menghadapi kesedihan, lalu berpindah pekerjaan, berpindah ke kota lain, melakukan hal-hal yang berbeda dari yang biasa kita lakukan sebelumnya. Semata-mata karena kita tidak mampu menghadapi hal-hal yang akan mengingatkan kita pada masa lalu.

Imbas yang sama juga dialami keluarga pembunuh, bagaimana keluarga tersebut harus menghadapi cacian dan makian, bagaimana mereka harus menerima disebut keluarga pembunuh dan harus bertanggung jawab atas tindakan anak lelaki mereka. Keluarga pembunuh, adalah pembunuh. Sang bapak kehilangan pekerjaan, mereka berpindah - pindah dari satu kota ke kota lainnya, karena di setiap kota yang mereka tinggali, selalu ada yang mengganggu mereka dengan peristiwa pembunuhan tersebut. Kedua keluarga sama - sama berlari dari kesedihan, yang membedakan keluarga kedua dengan keluarga pertama adalah, instead of mereka tercerai berai, mereka memilih untuk bersama dan menafikkan keberadaan anak pertama yg pembunuh tersebut. seperti halnya ketika sedih yang sangat dan kita tidak kemana-mana, kita memilih untuk berfikir bahwa penyebab kesedihan atau kesedihan itu sendiri, tidak pernah ada.

Terlepas dari problem utama yakni pembunuhan gadis usia 7 tahun, saya kira apa yang dialami setiap tokohnya sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari hari. Mungkin kita adalah si adik pembunuh, Futaba,  yang awalnya tidak bisa menerima tindakan sang kakak yang seorang kriminil dan tetap menganggap si pembunuh tetaplah kakak, mungkin kita adalah si kakak dan bapak korban, yang tinggal bersama - sama dan tetap tidak beranjak dari peristiwa 15 tahun lalu, menghadapi kesedihan dengan ambisi untuk balas dendam pada sang pembunuh. Mungkin kita si ibu korban, yang lari dari kesedihan dengan bercerai, kemudian menikah lagi. Mungkin kita adalah dia yang hingga 15 tahun kemudian akan mengatakan, "Daijobu desu. (saya baik-baik saja)" meskipun di dalam hatinya dia dipenuhi oleh kesedihan dan prasangka. Mungkin kita adalah sang bapak dan ibu pembunuh yang tidak pernah berani berhadapan langsung dengan keluarga korban dan meminta maaf, karena kita berfikir maaf tidak cukup. Hingga episode 6, belum banyak yg diceritakan mengenai Fumiya, pembunuh, sehingga saya tidak tahu bagaimana penokohannya.

Shit happens and some of us is feeling hard to deal with it. Even so, we'll be living on.


Dan Soredemo, Ikite Yuku , bercerita tentang bagaimana kedua keluarga tersebut akhirnya memilih untuk berhenti berlari dari kesedihan dan kenyataan, memberanikan diri untuk menghadapinya. Keluarga korban yang akhirnya berani untuk bertemu keluarga pembunuh, untuk menjawab semua prasangka dan pikiran mereka selama ini. Apakah keluarga pembunuh baik-baik saja? Apakah mereka tidak menderita seperti keluarga korban? Apakah mereka masih merayakan Natal yg selama 15 tahun menghilang dr keriaan keluarga korban? Apakah mereka berbahagia? Bukankah itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sama yang terkadang ingin kita tanyakan pada orang-orang yang pernah bersimpangan dengan kita dan kemudia menempuh jalan yang berbeda?

"Soredemo, Ikite Yuku" mempunyai alur yang sangat lambat, bahkan terkadang di satu episode tidak ada progress. Jika tidak sabar, maka menjadi sangat membosankan. Yuji Sakamoto, penulis yang sama dengan Saikou no Rikon, Woman dan Crying Out Love, in the Center of The World, sangat bisa mempermainkan emosi penonton, seolah-olah kita adalah tokoh-tokoh di drama itu. Dengan sinematografi yang ciamik, plot yang sangat jujur dan setting tempat yang seolah-olah tidak beranjak dari masa lalu, drama ini menjadi sangat realist. Eita, seperti di "Saikou No Rikon", total memerankan kakak korban dan emosinya. Dan Hikari Matsushima, akan menyeret emosi kita menjadi seorang adik yang takdirnya ditentukan oleh tindakan kriminal kakaknya, seperti kita ikut menanggung beban yang dia rasakan.

Overall, "Soredemo, Ikite Yuku" is worth to watch, maybe with a cup of coffee in a  dreary or cloudy day, something worthy to watch if you need to find your true feelings while counting the rain's pouring. 

Friday, February 14, 2014

memaknai persimpangan

image


: catatan tertinggal untuk usia yang makin menua dan kasih sayang yang jatuh pada hari ini.

seminggu, sebelum usia 30, tahun lalu. pada perjalanan pulang di jakarta yang gerah.

seharusnya hari itu aku berdiam di rumah, sebelum perjalanan dinas ke luar kota keesokan harinya. memeluk erat perasaan risau ketika memasuki usia 30 tahun, merasa tua, rendah diri, merasa tidak lagi menarik dan istimewa, merasa tak berguna dan kacau yang biasa-biasa saja. -tentu saja itu berlebihan, tapi mari kita anggap itu adalah lonjakan hormon yang membuat emosi meletup-letup dan segala pikiran berkecamuk.- tapi karena ada meeting yang harus didatangi, maka akupun ke jakarta dan pulang dengan tergesa-gesa. menumpang kereta ekonomi yang datang secepatnya. perempuan menjelang usia 30 tahun yang merasa tua, rendah diri, tidak menarik, tiba-tiba dipertemukan  dengan seorang lelaki yang tampannya hampir mustahil, di gerbong kereta ekonomi. Yang pada stasiun berikutnya, lelaki itu berdiri dengan sopan di belakangku, entah apa alasannya. awalnya kukira dia copet, tapi sepertinya dia terlalu tampan untuk itu. hingga pada stasiun-stasiun berikutnya, aku yakin dia disana untuk melindungi tubuh yang jauh dr kesan tak berdaya ini dari jejalan dan dorongan di gerbong kereta yang sangat padat. ternyata kami turun di stasiun yang sama, dan cerita berakhir begitu saja. karena, aku bahkan tak bisa mengingat siapa namanya. dan samar-sama melupakan wajahnya.

lelaki yang tampannya mustahil, berbaik hati untuk melindungi wanita yang usianya memasuki 30 tahun, merasa kucel, tidak menarik, rendah diri dan perasaan kacau lainnya. Untuk apa?

Lalu pada beberapa tahun sebelumnya. Di sebuah stasiun juga, di bandung. Ibu-ibu tua tiba-tiba bercerita panjang lebar tentang perjalanannya mengurus pensiunan sang suami. ke jakarta lalu tidak menyisakan uang sepeserpun. bertemu denganku yang di stasiun itu adalah sebagai pelancong, dengan membawa satu tas besar berisi belanjaan baju yang sebenarnya tak sungguh-sungguh aku perlu. lalu kuulurkan selembar lima puluh ribuan yang kukira akan cukup membantu. kemudian kereta datang, lalu kami terpisah oleh rel. lagi lagi entah siapa nama si ibu dan nama mendiang suaminya.

ibu-ibu janda yang mengurus pensiunan mendiang suaminya, kehabisan uang, bertemu dengan perempuan pelancong yang menenteng belanjaan barang-barang yang tak terlalu perlu. untuk apa?

beberapa tahun setelah itu, bulan lalu, ketika pulang ke kampung halaman bapak bercerita tentang bagaimana ribet dan susahnya mengurus pensiunan dan harus mengirim dokumen bolak balik ke jakarta. dan tiba-tiba aku teringat fragmen di stasiun itu. ingatan yang samar.

semesta memang istimewa, dia mengatur setiap persimpangan sesuai dengan porsinya. 40 menit, 10 menit, sebulan, 3 tahun, 10 tahun, dan ketika persimpangan itu berakhir, bukankah itu memang sudah selayaknya? karena kukira memang tidak ada yang sia - sia dari sebuah pertemuan ketika semua dimaknai.

10 menit untuk gambaran peristiwa yang mungkin akan kita alami, 40 menit untuk malaikat pelindung yang menjelma menjadi lelaki yang tampannya mustahil dan menjadi jawaban atas kerisauan kala itu, 3 atau 4 tahun untuk kebersamaan sebagai teman seperjalanan atau sahabat sebelum menjadi asing kemudian, 3 sampai 6 bulan untuk pasangan jiwa yang kekal di ingatan, atau sebuah pertemuan hingga entah kapan, untuk menjadi bagian dari yang lainnya.

masing - masing orang memaknai hidup orang lainnya. menjadi bagian dari cerita atau hanya memberi warna. Jika demikian, seharusnya tidak ada satu persimpangan yang harus disesali bukan? dan tidak ada waktu yang terbuang percuma untuk itu, sehingga ketika persimpangan itu berakhir pada jalan yang berbeda, cinta, kasih dan kebaikan, sesingkat apapun, tetaplah cinta, kasih dan kebaikan.

untuk orang-orang yang pernah berpapasan pada perjalanan kita, terima kasih. sesingkat apapun perismpangan kita di 31 tahun ini. terima kasih telah menjadi warna dan cerita. terima kasih telah menjadi ingatan. terima kasih untuk cinta dan kasih sayang kalian.

-gandaria, 14 februari 2014-

Monday, February 03, 2014

Semur Apa Saja

Jadi, pernah suatu hari kakak lagi main ke rumah dan ngobrol dengan si mbak di rumah. Kata kakak, di antara semua saudara,  saya adalah yang paling tidak bisa masak. Bisanya cari duit. Entah itu pujian atau celaan. Hahaha. 

Tapi memang, gaya saya memasak tidak masuk kriteria "bisa memasak" di keluarga. Ibu yang memang jago memasak, masih memakai pakem2 lama. Misal bumbu sebisa mungkin diuleg dan bukan diblender. Kemiri harus digoreng dulu, goreng tempe harus kering dengan api sedang hampir kecil, yada yada yada. Dan kakak2 saya, kebanyakan juga demikian.

Saya? Karena guru saya adalah pinterest, maka memasak itu kalau bisa sepraktis mungkin, toh hasil akhir yg penting rasa kan? :D Suka otak atik dan modifikasi resep berdasar bahan yg ada. Karena itu kakak dan ibu saya selalu bilang..saya tidak bisa memasak. Ha!

Contohnya semur ini nih..kalau di lemari es sedang banyak bahan2 sisa yg jumlahnya sedikit2, saya akan memasaknya menjadi semur atau brongkos. Resep aslinya semur entah apa, tapi resep modifikasi ini ngga mengecewakan kok.

Bahan - bahan :
- 7 siung bawang merah
- 5 siung bawang putih
- 1 cm jahe
- 1 sdm ketumbar bubuk
- 1/4 sdt merica bubuk
- 1 batang serai
- 2 lembar daun salam
- kecap manis
- saos teriyaki

Isi semur :
Ayam, telur, tahu, tempe, wortel, kentang (tergantung kesediaan bahan)

Cara membuat :
1. Blender semua bumbu ( bawang merah, putih, jahe, ketumbar, merica ) , lalu tumis dg daun salam dan serai.
2. Masukkan semua isi semur, tambah air dan kecap dan garam.
3. Rebus sampai berkurang airnya.

Demikian saja dan selamat makan siang.

Posted via Blogaway

Sunday, February 02, 2014

Choco Baileys Bread Pudding

Saya tipikal orang yang sayang untuk membuang makanan dan bahan2 makanan. Seringkali sengaja untuk membiarkan bahan makanan itu hingga lewat kadaluarsa, baru membuangnya.

Sebenarnya sih dimaksudkan untuk berjaga kalau iseng saya untuk membuat makanan kambuh, seperti hari ini. Apalagi ditambah musim hujan yang sepertinya menjadi alasan permisif untuk membuat camilan.

Maka jadilah keisengan saya dari mengaduk bahan2 yg sisa dan mumpung ada menjadi...Choco Baileys Bread Pudding!

Bahannya :
- 6 lembar roti tawar sisa
- 2 telur
- 1 cup susu UHT plain
- 2 sdm gula pasir
- 1/2 sdt garam
- 1/4 baking powder
- coklat blok dan kismis secukupnya
- 1/2 cup baileys

Cara :
- aduk telur, susu, baking powder, gula, garam sampai merata.
- masukkan roti tawar yg disobek asal, aduk hingga menyerupai bubur.
- masukkan kismis dan coklat blok yg diparut kasar, juga baileys. Aduk hibgga tercampur.
- kukus selama 25 menit. Oiya, saya kukus karena malas mengeluarkan oven. Kayaknya dioven akan lebih enak deh, dg modifikasi tambahkan 2 sdm mentega sebagai pengganti garam.

Dan voilaa...demikian hasilnya :D


Posted via Blogaway