Tuesday, September 03, 2013

Eka, Kayla dan Labirin Rasa


Ini prestasi!

Saya akhirnya bisa menyelesaikan 1 buku hingga lembar terakhir dalam 3 hari, setelah bertahun-tahun. Hahaha. Dulu sebulan bisa membaca 5 - 9 buku, tapi setelah menikah dan punya anak, sepertinya hanya bisa menyelesaikan maksimal 1/3 buku, bahkan banyak buku yang masih rapi dibungkus plastik. (Maafkan teman2 yg sudah berbaik hati membelikan buku :D)


Setelah bulan lalu ada rak buku baru, saya jadi tertarik membaca lagi. Maklum, sebelumnya buku2 hanya ditumpuk tak beraturan di lemari yang sudah reyot, jadi seringnya saya lupa punya buku apa yang belum selesai dibaca.

Sebenarnya prestasi menyelesaikan 1 buku itu juga didorong karena yang nulis teman saya sih, Eka Situmorang. :D Saya mengenalnya beberapa tahun lalu. Pertama kali bertemu kalau ngga salah pas Pesta Blogger 2009, lanjut di Twitter dan kopdar2 dengan komunitas. Perempuan manis yang mempunyai aura positive, membuat banyak teman-temannya betah, termasuk saya. Energi senangnya meletup-letup, kalaupun dia tidak sedang senang, atau sedang sebal dengan orang lain dan nerocos mengutarakan kekesalan, tetap enak saja didengarnya.


Mau tidak mau saya selalu membayangkan Kayla, tokoh dalam novel Labirin Rasa yang dia tulis, adalah dia. Karena saya mengenal Eka setelah dia bekerja di hotel, jadi saya asumsikan dia yang saya kenal adalah Kayla yang telah bermetamorfosa. Saya tidak tahu apakah Eka dulu secuek, segendut, sejerawatan dan seklumus Kayla. :D

Jadi, Labirin Rasa ini menceritakan tentang Kayla, cewe tomboy, bercelana jeans, cuek, ceplas ceplos, dan ngga banget, yang karena obsesinya pada lelaki cinta pertamanya, Ruben, melakukan perjalanan ke beberapa kota untuk mengobati sakit hati, untuk mencari makna hidup, dan juga akhirnya untuk patah hati lagi. Perjalanan - perjalanan yang justru akhirnya memberikan hal yang lebih dari tujuan awal.

Dari segi tokoh, sekali lagi, susah memisahkan Eka & Kayla. Mungkin memang lebih mudah bagi penulis untuk menuliskan cerita yang pernah dialami atau disaksikan. Meski belum tentu juga cerita tentang Kayla adalah cerita tentang Eka. Yang paling menonjol sebenarnya adalah ketika Eka menggambarkan seksualitas yang ada di pikiran Kayla ketika bertemu beberapa lelaki. Kayla yang digambarkan sebagai perempuan cuek dan masih sangat awam terhadap sebuah hubungan, kayaknya kurang pas ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, yang terpikirkan adalah masculinity. Dulu ketika saya masih polos dan belum pernah ciuman, kayaknya kalau lihat cowok ganteng ngga ada hasrat, selain "oh..cowo itu ganteng. Kayaknya enak nih kalau bisa dipeluk." Nah, untuk ukuran Kayla pada bab-bab awal, kayaknya pikiran2 yang menjurus pada sexuality sepertinya terlalu expert.  Itu Eka banget! Hahaha.

Dari plot ceritanya, saya suka! Sangat masuk akal seseorang yang belum pernah jatuh cinta pada usia se-Kayla, akan terobsesi pada cinta pertamanya. Kalau Kayla masih SD dan terobsesi pada cinta pertama, itu agak lebay. Karena biasanya jatuh cinta saat usia - usia ABG, seringnya adalah cinta monyet yang akan menjadi kekonyolan dan kenangan lucu (ya, kecuali kalau hubungannya ditindaklanjuti ketika sudah dewasa). Obsesi Kayla pada Ruben selama bertahun-tahun hingga dia melakukan banyak hal yang tidak masuk akal, adalah wajar. Eka menghadirkan cerita yang membuat pembacanya kembali bernostalgi, mungkin menghadirkan sedikit sengatan karena kenangan. Jika pembaca tidak pernah mengalami patah hati pun, Labirin Rasa tetap akan menghadirkan cerita yang menghanyutkan. Yang saya sukai lagi, Eka membuat happy ending yang masuk akal. Tidak selalu bahagia itu jika cerita berakhir dengan dua tokoh utama bersama selamanya. Lebih bisa masuk logika ketika Eka menutup ceritanya dengan keputusan Kayla bersama orang lain setelah apa yang dilakukan Ruben. Bukankah ini yang harus disadari oleh beberapa orang yang tidak bisa move on,  bahwa akan ada waktu dimana enough is enough. Dunia masih berputar dan masih banyak pintu kebahagiaan lain meski kita patah hati, meski kita dikhianati.

Saya juga suka cerita ketika Kayla, yang ber-IP satu koma, karena sakit hati menyibukkan diri dengan belajar hingga bisa lulus dengan IP 3koma. Ini agak-agak dongeng mungkin bagi sebagian orang. Tapi untuk orang lain, ini adalah hal yang mungkin. Kita bisa membalikkan kesedihan itu menjadi energi untuk melakukan hal-hal positif. Energi tidak menghilang, dia hanya berubah bentuk. Dan dalam Labirin Rasa, Eka berusaha mengungkapkan itu, entah disadari atau tidak.

Yang sebenarnya agak mengganjal buat saya di plot cerita adalah banyaknya tempat yang dikunjungi Kayla dalam waktu yang singkat. Darimana dia mendapatkan uang untuk itu? Untuk Kayla yg anak kuliah belum beres, kayaknya agak ngga masuk akal bisa jalan2 ke Yogya, Malang (oke, 2 ini bisa dijangkau dg kereta/bis murah), Bali dan Lombok. Kayla cewek mandiri, tidak mungkin dia menggunakan uang orang tuanya untuk jalan2 (meski menginap di saudara lho ya). Lalu Makassar, Eka tidak detil menceritakan bagaimana Kayla kembali setelah dia kecewa dengan Cynthia. Saya juga tak melihat alasan jelas kenapa dia memilih New Zaeland sebagai tempat bulan madu. Saya pikir Kayla yg petualang, dan Patar yang pemuda pasar, terlepas dari kemampuan finansial, tidak akan memilih tempat yang mahal untuk bulan madu. Eka seperti ingin menjejalkan kota - kota dan negara ( New Zaeland ) yang mungkin pernah dia kunjungi dalam Labirin Rasa. Kegilaan seseorang yang patah hati memang memungkinkan dia melakukan apapun, tapi pada faktanya perjalanan untuk penyembuhan seringkali harus dilalaui sendiri (seperti Kayla di bab2 awal), tidak melulu harus menyibukkan diri dengan berwisata keliling kota, atau berkenalan dan flirting dengan orang-orang baru. Seringkali pengalaman hidup dipetik justru tidak soal percintaan. Human interaction , human - nature interaction dan hal-hal lain seringkali menjadi obat yang lebih manjur untuk patah hati.

Meski setiap kota diceritakan dengan detil, tapi tergesa-gesa. Seperti ada kesan dia ingin merangkum ingatan-ingatan akan kota-kota itu dalam satu buku. Saya berharap, dia akan menulis buku lagi, lalu fokus pada 1 - 3 kota untuk satu cerita. Mengeksplore kota itu, atau mengeksplore si tokoh lebih dalam.

Untuk editorial, saya hanya menyadari satu halaman yang parah habis. Di halaman 256, dimana harusnya Kayla berdialog dengan Ruben, malah dituliskan namanya Patar. Nah lho? :D Selebihnya sih oke-oke saja, karena saya juga bukan orang perhatian di detil dan masih bisa lancar membaca meski typo. Hahahaha.

Novel romansa sebenarnya bukan pilihan saya ketika berada di toko buku, tapi membaca Labirin Rasa itu menyenangkan. Ceritanya ringan, mengalir dan membuat kita penasaran bagaimana akhirnya. Eka menyelipkan banyak pelajaran terutama untuk wanita - wanita yang sedang mencari cinta sejati. Banyak hal terjadi di luar yang kita harapkan, padahal hal itu justru akan membawa kita pada kebaikan. Energi positif Eka tersirat jelas disini. Saya menyelesaikannya sekitaran 3 hari, dan ini memberikan harapan minat baca saya akan tumbuh lagi. Hihi.

*artikel ini diikutkan Lomba Review Labirin Rasa. 

http://www.smartfren.com/ina/home/


Monday, September 02, 2013

Rumah untuk #anaklanang

Oh well, sekali lagi.

Saya tak bisa konsisten bahkan untuk memegang komitmen pada diri sendiri. Komitmen untuk  kembali menulis satu saja tulisan dalam seminggu.. Satu bulan terlewati dari tulisan terakhir, Agustus yang sebenarnya banyak cerita, justru tak terabadikan satupun. Terlalu banyak kejadian, terlalu sedikit waktu untuk menuliskan.

Agustus.

Hari Raya di awal bulan, rencana mudik yang berantakan karena si #anaklanang sakit, mobil yang tak kunjung keluar dari bengkel, koneksi internet yang tidak ada di kampung halaman, si mbak yang sempat mengirimkan pesan untuk tidak kembali (meski akhirnya dia meralatnya kembali). Belum lagi setelah kembali ke ibukota, kerjaan yang sangat menumpuk, si mbak yang belum kembali juga meski saya sudah mulai bekerja, dan acara - acara di lingkungan rumah di antaranya. Beberapa hal yang benar- benar menguras tenaga dan pikiran, kala itu. :D

Saung depan rumah kami. Terima kasih pada tetangga baik hati yang menginisiasi :D

Membincang lingkungan rumah yang kami tempati sekarang, seakan tidak ada habisnya. Tidak ada habisnya pula acara - acara diadakan disini. Entah acara keagamaan, family gathering atau acara tujuhbelasan dua putaran yang baru saja lewat. Di bulan Agustus lalu, rasio acara di akhir pekan adalah 3 : 5. Dari perayaan 17an (ini saja ada 2 hari ), lalu malam puncak perayaan kemerdekaan ( satu minggu setelahnya ) dan arisan bulanan.

Jika saya membincang ini dengan beberapa teman, terutama yang kenal saya dulu, pasti akan membuat mereka terheran-heran. Bagaimana saya bisa tahan dan bersenang-senang dengan itu semua? Hahaha.

Terlepas dari kesulitan saya untuk bersosialisasi, dulu saya adalah anak kost. Ikatan saya pada tempat tinggal seringnya tak lebih dari kasur untuk tidur, kamar mandi, dan CD player yang tak henti memutar lagu - lagu. Dan buku - buku. Selebihnya saya akan memilih tempat kost yang sunyi, semakin sunyi semakin baik. Semakin tak banyak tetangga yang saya kenal, semakin nyaman saya tinggal.

Dulu, bahkan saya punya pikiran, semakin banyak orang yang berada di sekitar saya, rasanya semakin sedikit ruang yang saya miliki. Dan pikiran itu, secara tak sadar mempengaruhi fisik saya. Sesak napas atau mual berlebihan jika saya ada di antara banyak orang.

Pawai Obor menjelang ramadhan.
 Banyak hal memang berubah sekian tahun belakang. Tapi perubahan yang paling saya rasakan adalah semenjak saya pindah dan menempati rumah ini. Saya mengenal banyak orang baik yang bersedia bersusah payah untuk melakukan sesuatu untuk orang lain. Orang - orang yang mempunyai energi positif dan membaginya dengan sekitar, termasuk saya. Orang - ornag yang membuat saya belajar banyak hal. Saya belajar untuk menekan ego, belajar untuk tidak berasumsi, belajar untuk bersosialisasi. Saya mengendurkan sekat-sekat yang selama ini menghalangi orang untuk mendekat, saya belajar untuk tidak berprasangka dan berekspektasi pada tetangga karena toh sayapun tak sempurna, saya belajar untuk selalu memberi apapun yang saya punya. Tenaga, pikiran, atau bantuan jika memang diperlukan.

Semua itu awalnya tak mudah memang, tapi ketika kami (saya dan suami) melakukannya untuk #anaklanang, semuanya terasa lebih menyenangkan.  Awalnya, saya dan suami melakukannya tak lebih agar anak kami nyaman tinggal di lingkungan ini. Kami, tak ingin membuatnya tumbuh dengan prasangka-prasangka. Tak ingin membuatnya tumbuh sebagai pribadi yang anti bersosialisasi. Tak ingin membuatnya berfikir bahwa orang lain adalah beban. Karena memang seharusnya begitulah manusia. Makhluk sosial dan selalu berbagi. Dan terlebih lagi, kami ingin meninggalkan ingatan - ingatan yang hangat dan menyenangkan, tentang lingkungan, tentang orang - orang sekitar, tentang keriuhan - keriuhan yang dia alami dan saksikan.

Hingga jika nanti dia bepergian, dia ingat rumah untuk pulang. Bukan hanya pada kami orang tuanya, tapi juga pada hangatnya kenangan.