Wednesday, February 10, 2010

mourning

....
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”


saya tidak tahu apa yang dirasakan soe hoek gie setelah keinginannya benar - benar terpenuhi. mungkin dia memang bahagia, sambil tersenyum menyambut sakratul maut yang kala itu menghampirinya di kaki gunung semeru. bukankah itu inginnya? untuk mati muda.

tapi mungkin juga dia gemetaran, ketakutan sambil nyawa meregang. toh kegentaran itu juga sudah terasa dalam sajaknya, ketika dia menuliskan kalimat, "tapi aku ingin mati di sisimu sayangku".. hanya dengan membayangkan kematian, saya merasakan hawa yang dingin. dan mungkin hal yang sama dirasakan gie. itulah yang membuat gie berharap, kehadiran orang - orang yang dia sayangi untuk mengantarkan kepergiannya.

setidaknya, dengan begitu bisa menghadirkan sedikit kehangatan.

satu yang tak pernah gie ungkapkan dalam puisinya yang menurut saya terdengar sangat egois. gie tak pernah menyebut, atau mungkin tak pernah menyadari, betapa melihat seseorang yang kita sayangi meregang nyawa di depan mata adalah hal yang sangat menyedihkan. dan gie tak akan pernah tahu rasanya.

tapi saya yakin, ibu dan kakak saya tahu.

mereka paham betul bagaimana rasanya menyaksikan seseorang yang mereka sayangi terbujur kaku di depan mata, tanpa bisa berbuat apa - apa. saya sendiri tak begitu paham, dan sampai saat ini saya tak berani bertanya tentang apa yang mereka rasakan. kehilangan karena kematian itu seperti luka yang tak pernah sembuh, sekali saja kita menyinggungnya, maka luka itu akan terbuka lagi. dengan rasa sakit yang masih sama.

saya melihatnya dari mata ibu yang selalu berkaca - kaca setiap kali kami membicarakan mendiang kakak lelaki saya, yang meninggal sembilan tahun lalu. dalam usia yang masih relatif muda, 31 tahun. atau ibu yang selalu sesenggukan setelah bertemu dengan keponakan laki-laki saya, anak dari kakak saya, yang setelah besar wajahnya sangat mirip mendiang kakak. mungkin itulah satu - satunya warisan kakak saya, anak yang tak akan membuat kami lupa.

dan setelah hari ini, kakak perempuan saya akan menemani ibu, untuk merasakan kepedihan yang sangat. kepedihan yang tak bisa saya pahami. kehilangan seorang anak.

keponakan laki-laki saya, meninggal dunia.

lagi-lagi dalam usia yang relatif muda, 32 tahun. meninggalkan seorang anak perempuan, dan istri yang sangat mencintainya. meninggalkan ibu bapaknya, dan kakek nenek yang sangat menyayanginya. meninggalkan saya, yang masih saja tak percaya.

dan seperti puisi gie, kematian memang begitu egois. kakak saya, dan keponakan lelaki saya, tentu tak pernah tau apa yang kami rasakan. karena kematian adalah perjalanan yang dilakukan sendirian. seperti kata pram dalam bukunya,

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

*) mengenang kalian dengan cinta yang sangat, Heru Krisnanto ( 1970 - 2001 ) & Andrian Widaryanto ( 1977 - 2010 )

Wednesday, February 03, 2010

bittersweet

Saya sedang duduk di metromini jurusan Pasar Minggu – Mampang, ketika seorang teman mengirimkan pesan, bahwa saat yang sama dia sedang duduk-duduk sambil minum kopi di daerah Gadjah Mada, dekat bioskop tua “Wisata” di Denpasar.

Katanya, “kopi di sini ga enak.”

Saya hanya tersenyum menerima pesan pendek itu, sebelum akhirnya menjawab, “Susah untuk menemukan kopi enak di Bali .”

Tentu saja saya tak menyebutkan tentang kopi Banyuatis atau Kedai Kopi Bali, tempat favorit yang saya kunjungi setiap awal bulan, ketika gajian tiba. Memang, di Bali sangat susah untuk menemukan kopi enak di pinggir jalan. Kopi atau teh, sama susahnya. Jika mau yang enak, maka itu mahal. Setelah dikemas, harga jual akan melonjak, begitulah hukum pasar bekerja. Jangan dibandingkan dengan kopi-kopi angkringan di Jogja atau wedangan Solo, karena setiap tempat memiliki ceritanya sendiri-sendiri.

Begitu pula Jakarta. Sekian bulan sudah dan malam itu saya menyadari bahwa memang saya telah jatuh cinta pada kota ini.

Di bangku nomer tiga, pada metromini jalur 75, saya sedang menyandarkan kepala di jendela ketika tiba-tiba ada perasaan asing yang menyelinap diam-diam di sela keasyikan saya menikmati pemandangan di pinggiran jalan. Jangan bayangkan tentang senja kekuningan, karena waktu itu sudah menunjukkan jam 9 malam. Juga tidak ada bulan. Untuk musim yang tak pasti dengan mendung seperti ini, melihat bulan adalah keajaiban. Pemandangan di sini adalah para pedagang, pengamen jalanan, ibu-ibu pulang pengajian.

Bukan pemandangan yang membuat saya terhenyak, sebab tak ada pemandangan yang bisa tiba-tiba menonjok benak saya. Tapi, demikianlah adanya, muncul sebentuk perasaan yang datangnya sekejap saja: perasaan akrab sekaligus asing.

Itu bukan kali pertama saya naek metromini, bukan pula pertama kali saya melihat pemandangan di jalanan Jakarta. Tapi, malam itu, semua terasa beda. Saya menemukan diri saya sedang menikmati semuanya. Iya, menikmati. Seakan itu adalah sepotong cheese cake dengan cream yang meleleh lembut di kerongkongan.

Saya menikmati setiap sensasinya. Tak ada lagi was-was yang memaksa saya memeluk erat tas atau mempererat pegangan ketika sopir metromini menarik pedal gas. Saya merasa mengalir begitu saja, mengikuti ritme metromini Jakarta yang terkenal akan keberingasannya.

Saya merasa begitu nyaman dengan scene "duduk di metromonini, melihat lewat jendela, tidak memikirkan apa-apa, tidak menghawatirkan apa-apa, harus turun di mana, dsb, dsb."

Anehnya, perasaan hangat itu malah membuat saya menjadi asing dengan perasaan itu sendiri. Ya, merasa asing, karena tidak biasanya saya merasa begitu. Ada sedikit perasaan bersalah, juga rasa lega, menyadari bahwa saya telah menerima kota ini dengan segala kemungkinannya.

Kombinasi perasaan akrab yang asing itu mungkin seperti seseruput kopi, rasa pahit yang lama kelamaan meninggalkan rasa asam dan....

Ah, sungguh, saya tak tahu dengan cara apa mesti mendeskripsikannya. Barangkali, kenyataan bahwa saya belum sanggup mendeskripsikannya adalah bukti tak terbantah bahwa kota ini masih belum sepenuhnya saya pahami, belum seutuhnya saya mengerti.

Persoalannya, mungkinkah kita bisa memahami kota seperti Jakarta dengan seutuhnya dan dengan sepenuhnya?