pagi ini berdebat dengan suami, gara-garanya membaca timeline yang ada twitpic sebuah acara "Jomblo Berkah Tanpa Syiah".
Aku bilang "acaranya di masjid UI, ngapain juga kampus UI ngurusin hal ginian?"
Lalu
suami bilang,"syiah itu memang salah sih, cuman caranya ya ngga harus
gitu (pakai kekerasan) untuk mengarahkannya ke sesuatu yg lebih benar. "
Dan
dari situlah perdebatan dimulai. Suami yang lebih paham soal agama,
menjelaskan panjang lebar kenapa salah yada yada yada. Lalu merembet ke
insiden gereja di bogor yang dibongkar paksa karena didirikan secara
ilegal. lalu merembet ke banyak hal. Suami saya orangnya keren, deh!
Seringkali saya takjub dengan pengetahuannya akan banyak hal, termasuk
soalan hukum-hukum islam dan lain2. (oh, tapi dia tidak tahu apa itu
"meme". Ha! Kali ini saya merasa keren :D)
Tapi, dia sedang
berbicara dengan saya, orang yang pemahaman agama Islamnya cethek. Saya
tidak tahu apa yang membedakan muhammadiyah dan NU, lalu islam kejawen
atau islam2 hasil asimiliasi budaya lainnya. Saya juga tidak paham apa
itu Syiah dan Sunny. Saya bertanya, "lalu mereka sholat? kitab sucinya
alquran? nabinya mohammad?" Jika begitu...lalu dimana masalahnya? See,
se-cethek itulah saya melihat sesuatu bernama agama.
Saya
bertanya, "kalau Syiah itu diperangi, kenapa ngga sekalian perangi
pemeluk agama buddha, kristen, hindu dan atheis sekalian?" Nah kan,
makin kelihatan sampai dimana pemahaman saya?
Lalu dia mulai
geregetan menjelaskan ke saya yang bebal soalan beginian. Suami adalah
orang dengan stock kesabaran yang kayaknya sangat banyak pula (tapi
seringkali kehabisan ketika berurusan dengan kebebalan saya :D), dia
masih berpijak pada fakta, peraturan dan hukum-hukum yang ada, dia masih
sangat waras untuk menggunakan semua itu dalam argumennya. Meski tetap
tidak membenarkan tindakan kekerasan apapun unt memaksakan kebenaran ke
pihak lain. Lagi2 dia keren!
Tapi asal muasal perdebatan kami
bukanlah berita tentang kekerasan agama, melainkan sebuah poster
layaknya poster seminar di kampus. Dimananya ada kekerasan? Tidak ada, tapi seminar itu memprovokasi untuk membenci sebuah keyakinan tertentu. Tapi saya membayangkan mengganti kata Syiah itu dengan kristen, buddha, hindu, atheis, konghuchu dan agama-agama lainnya.
Karena
di pikiran saya itu bukan soalan hukum-hukum yang harus ditegakkan.
Bukan soalan yang benar dan yang salah. (kalau membincang ini, saya
yakin saya pun salah. Islam tapi ngga sepenuhnya memahami Islam ).
Menurut
saya, ini adalah soalan pelanggaran terhadap hak keimanan/keyakinan
orang lain, terlepas apakah keimanan/keyakinan tersebut salah (menurut
orang lainnya). Saya seringkali berfikir begini, keyakinan kita terhadap
sang pencipta itu adalah hubungan vertikal dalam ruang yang sangat
personal. Sebuah ranah yang seyogyanya tidak dimasuki dengan paksa oleh
orang lain, kecuali memang kita membukakan pintunya dan berkata,
misalnya "tolong ajari aku beribadah yang baik." Karena saya tidak suka
ketika seseorang yang tidak saya persilahkan masuk kesitu tiba-tiba
berkata, "bagaimana kalau kamu ikut saya bersembahyang di gereja?"
Ruangan
itu, seharusnya dipisahkan dengan urusan duniawi. Syukur-syukur jika
ruangan itu bisa memantulkan vibrant yang membuat urusan duniawi lebih
baik. Tapi, jangan sampai karena ruangan itu memenuhi seluruh hati kita,
kemudian kita mencampuradukkan hubungan manusia-manusia dengan
keyakinan mereka pada tuhannya. Tak perlulah kita dobrak paksa untuk
masuk ke area itu dan melanggar hak keimanan orang lain. Toh, masing -
masing orang pastilah merasa apa yang di-imani benar, bukan? Biarlah
area itu tetap begitu, tetap benar karena iman bagi yang meyakininya.
Dan,
tak bisakah kita memakai ukuran lain untuk menimbang interaksi duniawi,
manusia dengan manusia lainnya, atau manusia dengan sekitarnya. Tak
bisakah kita memakai ukuran bernama kebaikan saja? atau cinta kasih?
atau, kemerdekaan personal tanpa harus melanggar kemerdekaan lainnya?
Kala
berkata demikian, saya membayangkan tuhan sedang tertawa-tawa, melihat
manusia yang diciptakannya berbeda-beda saling ribut menganggap dirinya
paling benar di antara lainnya.