Have I told you that I'm the biggest fan of Eita recently?
Yup, recently, after I saw him on Saikou No Rikon. Okay, I'm falling in love in a weird way. Di
Saikou no Rikon, Eita berperan sebagai suami yang nerd dan perfeksionis, dan seringkali menyebalkan. Meski kalau dilihat track recordnya, Eita sendiri sudah membintangi beberapa serial j-drama dan film, tapi baru di Saikou No Rikon ini, bisa saya bilang dia...Outstanding! Padahal sebelumnya sudah nonton
Tokyo Friends dan
Nodame Cantabille, tapi mungkin peran / cerita yang biasa, tidak bisa membuat saya terkesan. Yah, muka Eita sendiri biasa dan ngga ganteng-ganteng amat, beda dengan
Matsumoto Jun atau
Haruma Miura yang gantengnya kebangetan.
Tapi biasanya cowok-cowok yg gantengnya kebangetan lebih cepat bikin eneg sih :D
Setelah nonton Saikou No Rikon, akhirnya saya nonton drama / film Eita lainnya. Dimulai dengan
Sunao Ni Narenakutte yg bercerita ttg persahabatan 5 pengguna Twitter di Shibuya, dimana Eita berperan sebagai forografer, Di
Kyokuhoku Rhapsody sbg dokter di rumah sakit yg hampir bangkrut, di
Lucky Seven sebagai detektive, dan di
April Bride dimana dia menjadi suami idaman semua wanita di dunia. Hahaha.
Ada satu drama yang sebenarnya tertarik untuk nonton, tapi membaca sinopsisnya, sepertinya ini bukan jenis drama yang bisa ditonton sambil menyeruput teh atau sambil menunggu suami jemput di kantor :D Hm, sebenarnya j-drama mempunyai tipikal yang sama, yakni punya alur cerita / ending yang tidak biasa, jadi setiap judul memang mengejutkan, atau akan menjadi sangat menyedihkan. Dan seperti itulah gambaran drama ini,
"Soredemo, Ikite Yuku" yang akhirnya saya tonton di akhir pekan kemarin hingga hari ini (baru sampai episode 6 dari 11 episode). Drama ini bercerita tentang konflik emosi yang ditinggalkan pada 2 keluarga, setelah seorang anak laki-laki sebuah keluarga, membunuh anak perempuan keluarga lainnya yg berusia 7 tahun. Cerita dimulai 15 tahun kemudian setelah kejadian, dimana kakak tertua korban, Fukami (yg diperankan Eita), bertemu dengan adik perempuan si pembunuh, Futaba (
Hikari Matsushima) dan keduanya jatuh cinta.
If you think this is about love story, then you got it wrong.
Dari situ mulai dibedah emosi masing-masing anggota keluarga, baik keluarga pembunuh maupun keluarga korban. Bagaimana peristiwa pembunuhan ternyata tidak hanya berefek kesedihan yang panjang pada keluarga korban yang ditinggalkan, dimana sang ibu, sang bapak, sang kakak mempunya alasan masing-masing untuk merasa bersalah terhadap kematian anak/adiknya. Rasa bersalah yang dicari-cari dan menjadi emosi yang mengendap untuk membenarkan kesedihan mereka selama 15 tahun. Membuat keluarga tersebut ,
instead of, berkumpul bersama menghadapai kesedihan, justru tercerai berai. Sang kakak hidup dengan bapaknya, sang ibu menikah lagi. Ketika melihat ini, saya merasakan alasan yang dicari-cari dan kehidupan yang tercerai berai adalah sebuah pelarian. Pelarian seperti ketika kita tidak bisa menghadapi kesedihan, lalu berpindah pekerjaan, berpindah ke kota lain, melakukan hal-hal yang berbeda dari yang biasa kita lakukan sebelumnya. Semata-mata karena kita tidak mampu menghadapi hal-hal yang akan mengingatkan kita pada masa lalu.
Imbas yang sama juga dialami keluarga pembunuh, bagaimana keluarga tersebut harus menghadapi cacian dan makian, bagaimana mereka harus menerima disebut keluarga pembunuh dan harus bertanggung jawab atas tindakan anak lelaki mereka. Keluarga pembunuh, adalah pembunuh. Sang bapak kehilangan pekerjaan, mereka berpindah - pindah dari satu kota ke kota lainnya, karena di setiap kota yang mereka tinggali, selalu ada yang mengganggu mereka dengan peristiwa pembunuhan tersebut. Kedua keluarga sama - sama berlari dari kesedihan, yang membedakan keluarga kedua dengan keluarga pertama adalah, instead of mereka tercerai berai, mereka memilih untuk bersama dan menafikkan keberadaan anak pertama yg pembunuh tersebut. seperti halnya ketika sedih yang sangat dan kita tidak kemana-mana, kita memilih untuk berfikir bahwa penyebab kesedihan atau kesedihan itu sendiri, tidak pernah ada.
Terlepas dari problem utama yakni pembunuhan gadis usia 7 tahun, saya kira apa yang dialami setiap tokohnya sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari hari. Mungkin kita adalah si adik pembunuh, Futaba, yang awalnya tidak bisa menerima tindakan sang kakak yang seorang kriminil dan tetap menganggap si pembunuh tetaplah kakak, mungkin kita adalah si kakak dan bapak korban, yang tinggal bersama - sama dan tetap tidak beranjak dari peristiwa 15 tahun lalu, menghadapi kesedihan dengan ambisi untuk balas dendam pada sang pembunuh. Mungkin kita si ibu korban, yang lari dari kesedihan dengan bercerai, kemudian menikah lagi. Mungkin kita adalah dia yang hingga 15 tahun kemudian akan mengatakan, "Daijobu desu. (saya baik-baik saja)" meskipun di dalam hatinya dia dipenuhi oleh kesedihan dan prasangka. Mungkin kita adalah sang bapak dan ibu pembunuh yang tidak pernah berani berhadapan langsung dengan keluarga korban dan meminta maaf, karena kita berfikir maaf tidak cukup.
Hingga episode 6, belum banyak yg diceritakan mengenai Fumiya, pembunuh, sehingga saya tidak tahu bagaimana penokohannya.
Shit happens and some of us is feeling hard to deal with it. Even so, we'll be living on.
Dan
Soredemo, Ikite Yuku , bercerita tentang bagaimana kedua keluarga
tersebut akhirnya memilih untuk berhenti berlari dari kesedihan dan
kenyataan, memberanikan diri untuk menghadapinya. Keluarga korban yang akhirnya berani untuk bertemu keluarga pembunuh, untuk menjawab semua prasangka dan pikiran mereka selama ini. Apakah keluarga pembunuh baik-baik saja? Apakah mereka tidak menderita seperti keluarga korban? Apakah mereka masih merayakan Natal yg selama 15 tahun menghilang dr keriaan keluarga korban? Apakah mereka berbahagia? Bukankah itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sama yang terkadang ingin kita tanyakan pada orang-orang yang pernah
bersimpangan dengan kita dan kemudia menempuh jalan yang berbeda?
"Soredemo, Ikite Yuku" mempunyai alur yang sangat lambat, bahkan terkadang di satu episode tidak ada progress. Jika tidak sabar, maka menjadi sangat membosankan. Yuji Sakamoto, penulis yang sama dengan
Saikou no Rikon,
Woman dan
Crying Out Love, in the Center of The World, sangat bisa mempermainkan emosi penonton, seolah-olah kita adalah tokoh-tokoh di drama itu. Dengan sinematografi yang ciamik, plot yang sangat jujur dan setting tempat yang seolah-olah tidak beranjak dari masa lalu, drama ini menjadi sangat realist. Eita, seperti di "Saikou No Rikon", total memerankan kakak korban dan emosinya. Dan Hikari Matsushima, akan menyeret emosi kita menjadi seorang adik yang takdirnya ditentukan oleh tindakan kriminal kakaknya, seperti kita ikut menanggung beban yang dia rasakan.
Overall,
"Soredemo, Ikite Yuku" is worth to watch, maybe with a cup of coffee in a dreary or cloudy day, something worthy to watch if you need to find your true feelings while counting the rain's pouring.