"sesungguhnya jarak yang ditempuh setiap kali berlari adalah kemenangan atas pertarungan dengan diri sendiri. "bagaimana tidak, jika sebelum lari, isi kepala sudah berdebat, apakah sebaiknya melanjutkan tidur nyenyak di balik selimut atau melawan dinginnya pagi dengan berlari. sepanjang jalan yang dilaluipun, isi kepala tak hentinya menimbang-nimbang, apakah akan terus berlari atau jalan kaki. apakah akan menempuh 3 kilometer atau 5 kilometer pagi ini. dan pada setiap kilometer, selalu muncul pertanyaan,
apakah sudah waktunya menyerah atau bertahan lebih lama lagi?
mekanisme bertahan
setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk bertahan. dari kesepian yang dia hadapi. dari kehilangan yang menyedihkan. dari penghianatan yang menyakitkan. dari rindu akan rumah yang tak terperikan. mekanisme pertahanan inilah yang menjaganya untuk tetap tegak berdiri, untuk tetap tersenyum, atau untuk tetap berjalan seakan tanpa beban.
setiap orang, memiliki cara sendiri, untuk bertahan. dan saya, memilih untuk mengabaikan. mengabaikan kesedihan, mengabaikan rasa kehilangan, mengabaikan rindu untuk pulang. saya memilih untuk menafikkan perasaan-perasaan itu, dan memilih untuk berjalan. tapi ternyata, oh ternyata, pilihan itu menimbulkan efek lain, ingatan yang semakin pendek karena banyak hal yang terlupakan. hal-hal yang pada akhirnya muncul acak melalui mimpi-mimpi yang tidak terencanakan, yang seringkali membuat saya bangun tengah malam dengan perasaan tak karuan.
dan ingatan saya tentang bali dan bali marathon bukanlah sesuatu yang menyenangkan. pada tahun-tahun pertama saya di jakarta, saya bertahan dengan menafikkan ingatan tentang bali. tentang wajah orang-orang kesayangan. tentang tempat dan peristiwa yang tak pernah lagi saya sebutkan. bahkan, saya tak lagi memotret dan menulis tentang senja, sesuatu yang dulu sangat saya puja. secantik apapun senja di langit jakarta, tak akan membuat saya tergoda untuk mengabadikannya. karena, buat saya senja adalah bali dan pantainya. jika bukan, lebih baik lupakan saja.
saya sangat jarang berkomunikasi dengan teman-teman di bali, hingga akhirnya saya benar-benar tak berkomunikasi lagi. saya mengabaikan nama-nama dan foto yang melintas di newsfeed facebook saya, saya unfollow beberapa di antaranya. semata hanya agar saya bisa bertahan, dari rindu yang sangat, untuk pulang.
bali marathon 2015
begitu pula dengan bali marathon tahun lalu. race yang direncanakan sebagai race pertama pun gagal total. pendaftaran yang sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya, terpaksa digantikan orang lain. apa pasal? saya hamil tepat 2 bulan sebelum race. antara senang karena kami memang mengharapkan kehamilan ini, dan tidak senang karena saya terlanjur excited dengan race pertama : bali marathon.
sempat sangat galau, apakah saya akan tetap race 21 kilometer atau membatalkannya saja. saya mencari berbagai referensi apakah lari aman untuk yang sedang hamil. berapa jarak aman lari yang bisa dilakukan ibu hamil. apakah begini, apakah begitu. dan dari berbagai bacaan yang mendukung keinginan saya, selama masa itu saya tetap berlari, meski maksimal hanya 6 km, itupun dengan pace yang tergolong jalan cepat. masih dengan keinginan akan bisa lari half marathon, toh dari artikel yang saya baca banyak yang melakukannya. keinginan yang ditentang banyak orang.
half marathon, dan di bali. race pertama. idaman kan?
tapi karena hamil pun adalah sesuatu yang saya idam-idamkan, maka dengan berat hati akhirnya saya dan suami mengambil keputusan : saya batal ikut bali marathon. jangan tanya gimana sedihnya. sedih, tapi apa boleh buat. suami tetap berencana ikut, dengan latihan yang lumayan intens. ujung dari latihan intensnya adalah..cedera! gara-gara lari 17km di tanggal 17 agustus, sekitar 2 minggu menjelang race, kakinya cedera. lalu kami berduapun galau lagi. apakah tetap akan berangkat ke bali, atau tidak. ditunggu beberapa hari, cederanya tidak berkurang. jadilah suamipun memutuskan untuk batal. pembatalan race suami ini, menambah keikhlasan saya :D
saat kami berdua sudah bulat tekad dan penuh ikhlas untuk tidak ikutan race pertama, musibah datang. usia kehamilan yang menginjak 9 minggu divonis blighted ovum, alias janin tidak tumbuh. jadi hanya ada kantong rahim yang membesar, sebelum pada akhirnya luruh. sedih, jauh lebih sedih daripada saya harus membatalkan ikut race, dan merasa sangat bersalah (dan oh, saya baru berani mengatakan perasaan saya sekarang..) . belum lagi mulut-mulut jahanam yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah saya yang terus berlari ketika hamil. atau yang bilang karena saya tak sepenuh hati menerima kehamilan itu, makanya keguguran. suara-suara jahanam yang sungguh menyebalkan dari orang-orang yang tak berperasaan. (oh, maafkanlah aku dan mereka yang tidak tahu..)
meski dokter sudah meyakinkan bahwa blighted ovum berbeda dengan keguguran, tetap ada rasa bersalah. saya bertahan dengan tak pernah lagi menyebut tentang bali marathon, bahkan ketika membincang jakarta marathon, yang pada akhirnya adalah race pertama.
a healing race.
ketika pendaftaran bali marathon 2016 dibuka april lalupun, bayang-bayang tak mengenakkan tentang bali maraton sebelumnya belum hilang. saya tak mendaftar, dan saya mengabaikan segala informasi tentang bali marathon. masih ingat kan bagaimana mekanisme bertahan saya? ya, dengan mengabaikan. tapi mengabaikan membuat segalanya tak tuntas. saya masih merasa bersalah, dan saya merasa tak selesai. saya merasa kali ini saya tak bisa berlari dengan pura-pura tak peduli. saya tak ingin hingga bertahun-tahun kemudian ketika bali marathon disebut, masih ada perasaan tak enak yang menyergap tiba-tiba.
i need a closure.
setelah berdiskusi dengan suami, sekitar sebulan menjelang race akhirnya kami memutuskan untuk ikut. ini mungkin adalah "closure" yang saya perlukan, saya perlu mengatasi rasa trauma. yakni dengan menjalani setiap detail prosedur race hanya untuk dihadapkan pada ingatan yang tidak mengenakkan.
saya perlu merekonstruksi peristiwa dan melewati setiap fasenya, yang selama ini saya "skip and moving forward". saya seperti mengulang sebuah peristiwa, dengan melakukan perbaikan di sana-sini. saya mengerem rasa exciting yang tahun lalu berlebihan. saya mengurangi rasa jumawa dan koar-koar yang tahun lalu levelnya mendekati norak. saya latihan lebih serius. saya berdoa lebih serius. (iya, saya serius berdoa :D) saya ubah niatan saya untuk race. jika sebelumnya lebih banyak karena pamer (helllooo...ini bali marathon ajang race bergengsi lho!), kali ini saya niatkan untuk perjalanan spiritual. hahaha. atau lebih tepatnya perjalanan untuk menyembuhkan.
dan bali marathon 2016, adalah perjalanan saya untuk melewati badai, alih alih bertahan dalam badai yang entah kapan akan usai.
And once the storm is over, you won’t remember how you made it through, how you managed to survive. You won’t even be sure, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won’t be the same person who walked in. That’s what this storm’s all about. ~ Haruki Murakami on Kafka On The Shore