Why can I still believe in tomorrow,
when all i have tried was just in vain.
: dalam kubikel kuning, di luar (mungkin) senja baru saja beranjak.
saya sedang berjalan kaki di sebuah trotoar di sekitaran ( kalau tidak salah) casablanca, ketika tiba - tiba muncul keinginan untuk duduk disitu, menikmati siang yang terik, asap knalpot dari kendaraan yang berseliweran, dan para sopir angkot yang teriak - teriak menawarkan tujuan.
jam 2 siang dan jakarta tidak sedang mendung. bukan waktu yang tepat untuk duduk - duduk di pinggir jalan menikmati pemandangan. tapi tadi saya lelah. sangat lelah sekali. melihat sekeliling, jika saja ada tangga, kursi, badugan pot bunga atau apapun yang bisa saya duduki, ingin rasanya saya duduk disitu. tapi ternyata tak ada apa - apa, tak ada satupun yang bisa menampung lelah saya.
lalu saya teringat bali. teringat bangku - bangku panjang di sepanjang jalan pantai kuta. teringat sekian waktu lalu ketika saya sering kesana, hanya duduk tanpa tujuan. benar - benar sebuah jeda dari perjalanan yang panjang. memandang pantai, orang lalu lalang, lelaki - lekaki bertelanjang dada, perempuan berkaki jenjang. dan siang ini, saya kembali merindukan "saat" itu. hanya saja ini jakarta, kerinduan akan bali membuat saya semakin lelah.
akhirnya saya menyetop taksi. menyandarkan bahu saya di kursinya yang empuk. mencoba mengingat kejadian hari ini. mengingat seorang ibu dengan 2 anak balita yang tertidur pulas di jembatan penyeberangan. lalat berterbangan di seluruh tubuhnya yang pulas. anaknya, si besar, tertidur sambil tangannya tetap memegang gelas plastik berisi uang recehan. lalu si kecil, tertidur dengan jempol yang terisap. mungkin menahan lapar, mungkin mengira itu dot minuman, atau entahlah. lalu teringat perasaan saya yang selalu saja teriris melihat hal - hal yang demikian. ingatan yang akhirnya, lagi-lagi, mengiris hati ketika mengingatnya. selalu begitu, berulang. dan saya khawatir lama - lama saya akan menafikkannya, lalu mati rasa.
lalu ingatan beralih ke potongan pembicaraan. emosi, kemarahan, sakit hati. dimana cinta jika sedang begitu? rasa bersalah, gengsi, lalu marah lagi. lalu lelah lagi. begitu saja hingga akhirnya saya tersadar, taksi kami tak beranjak sejak tadi. sejak ingatan - ingatn berseliweran, hingga terkumpul energi kembali.
rupanya seperti biasa. bahkan pada jam 2 siang, jalananpun tak bisa dilewati dengan leluasa. saya jadi berfikir, mungkin begini rasanya. duduk-duduk di pantai. bukan melihat laut, tapi melihat muka - muka tergesa tapi tak bisa apa - apa. apa bedanya? keduanya sama - sama bisa dinikmati kan ya?
hanyalah barisan coretan yang membentuk kata, lalu berakhir pada cerita, tentang seseorang yang belajar untuk dewasa dalam dunia kekanak-kanakannya.
Thursday, February 23, 2012
Tuesday, February 21, 2012
good people die young
rasanya baru sebentar mata terpejam. baru sepersekian detik ingatan mengabur dan berkelana dalam malam. hingga bunyi telepon genggam mengacaukan semuanya.
nduk, ade nya mbak rina nggak ada. menurutmu indri gimana?
kabar duka selalu saja hadir seperti kejutan. tak dinyana. dan menyakitkan. masih dengan pikiran yang belum sepenuhnya "penuh", konsentrasi saya terpecah menjadi dua. ade dan indri.
ade meninggal. dan indri harus ke lombok.
bagaimana?
saya tak bisa menjawab pertanyaan ibu. saya hanya bisa berucap, "bentar bu. bentar. saya ingin mencerna keduanya."
lalu telepon saya tutup. saya terdiam. tak bisa juga berfikir.
apa? ade meninggal. bagaimana? indri akan ke lombok.
dan ingatan pun melayang ke kedua gadis kecil tersebut. ade dan indri adalah anak gadis kakak perempuan di atas saya persis. mungkin karena jarak saya dan kakak yang unda - undi, ponakan - ponakan itu pun dekat dengan saya meskipun dari kecil mereka di lombok.
ada dan indri adalah gambaran 2 gadis kecil yang sangat bertolak belakang. ade, si sulung, dari postur tubuh mewarisi keluarga bapaknya, kecil, berambut keriting, sorot mata yang tajam, bermuka galak dan mimik muka yang tidak ramah. sedangkan indri, adeknya, dari segi fisik lebih mewarisi keluarga kami. berpipi chubby, berambut ikal, bermata besar. dengan mimik muka yang sangat jawa. kalem. peringainyapun begitu, dia tak meletup - letup seperti kakaknya. cenderung pemalu, jika tak dikatakan penurut. begitulah gambaran mereka ketika kecil.
atas alasan itu pula lah, ketika kakak saya pada suatu hari meminta tolong untuk membantu menyekolahkan anaknya karena keadaan ekonomi yang sulit, tanpa berfikir panjang saya meminta si kecil, indri, untuk dipindahkan ke kediri, menemani kedua orang tua saya. alasannya, indri akan lebih bisa diatur aripada ade. dan kakak sayapun menyetujuinya.
sejak saat itu sekolah dan kebutuhan indri menjadi tanggung jawab saya. saya berusaha mencukupi apa yang dia perlukan agar sekolahnya lancar. dalam asuhan kakek - neneknya, orangtua saya, semua kebutuhannya dicukupi. meskipun tentunya tak bisa seperti anak - anak dari keluarga berkecukupan, tapi keadaan indri jauh berbeda dengan saudaranya, ade.
beberapa kali ade menelpon saya, menanyakan kabar, meminta tas, sepatu, pulsa dan entah apalagi yang dia minta. namun sebagian besar tak saya penuhi. entahlah, saya tak suka ketika seseorang terlalu demanding. semakin demanding, semakin tak saya penuhi. saya merasa, ade sangat menjengkelkan. mungkin karena dia dibesarkan di lombok, dengan kultur yang sangat berbeda dengan jawa, dia lebih terbuka mengungkapkan apa yang dia inginkan, dimana hal itu terasa tidak sopan.
dan kabar buruk pagi itu, menyelipkan penyesalan yang sangat. ade sudah meninggal senin kemarin, setelah kecelakaan motor yang dialaminya sebulan lalu, dia tak pernah membaik setelah itu. kecelakaan motor ketika dia bepergian dengan teman - temannya. ibunya pernah mengeluhkan ini, bagaimana ade sangat nakal, susah diatur.
kesedihan saya campur aduk dengan penyesalan. terlebih lagi, betapa banyak rejection yang lontarkan padanya. saat ini ade, tapi mungkin banyak anak lainnya yang saya perlakukan tidak adil. tidak dicintai dan diabaikan. perasaan ini menusuk - nusuk saya hingga hari ini. ketika di satu sisi saya begitu gembargemborkan cinta, di siss lainnya, saya tak memberikan cinta pada keponakan saya.
maaf ya, ade. dan damai selalu disana...
nduk, ade nya mbak rina nggak ada. menurutmu indri gimana?
kabar duka selalu saja hadir seperti kejutan. tak dinyana. dan menyakitkan. masih dengan pikiran yang belum sepenuhnya "penuh", konsentrasi saya terpecah menjadi dua. ade dan indri.
ade meninggal. dan indri harus ke lombok.
bagaimana?
saya tak bisa menjawab pertanyaan ibu. saya hanya bisa berucap, "bentar bu. bentar. saya ingin mencerna keduanya."
lalu telepon saya tutup. saya terdiam. tak bisa juga berfikir.
apa? ade meninggal. bagaimana? indri akan ke lombok.
dan ingatan pun melayang ke kedua gadis kecil tersebut. ade dan indri adalah anak gadis kakak perempuan di atas saya persis. mungkin karena jarak saya dan kakak yang unda - undi, ponakan - ponakan itu pun dekat dengan saya meskipun dari kecil mereka di lombok.
ada dan indri adalah gambaran 2 gadis kecil yang sangat bertolak belakang. ade, si sulung, dari postur tubuh mewarisi keluarga bapaknya, kecil, berambut keriting, sorot mata yang tajam, bermuka galak dan mimik muka yang tidak ramah. sedangkan indri, adeknya, dari segi fisik lebih mewarisi keluarga kami. berpipi chubby, berambut ikal, bermata besar. dengan mimik muka yang sangat jawa. kalem. peringainyapun begitu, dia tak meletup - letup seperti kakaknya. cenderung pemalu, jika tak dikatakan penurut. begitulah gambaran mereka ketika kecil.
atas alasan itu pula lah, ketika kakak saya pada suatu hari meminta tolong untuk membantu menyekolahkan anaknya karena keadaan ekonomi yang sulit, tanpa berfikir panjang saya meminta si kecil, indri, untuk dipindahkan ke kediri, menemani kedua orang tua saya. alasannya, indri akan lebih bisa diatur aripada ade. dan kakak sayapun menyetujuinya.
sejak saat itu sekolah dan kebutuhan indri menjadi tanggung jawab saya. saya berusaha mencukupi apa yang dia perlukan agar sekolahnya lancar. dalam asuhan kakek - neneknya, orangtua saya, semua kebutuhannya dicukupi. meskipun tentunya tak bisa seperti anak - anak dari keluarga berkecukupan, tapi keadaan indri jauh berbeda dengan saudaranya, ade.
beberapa kali ade menelpon saya, menanyakan kabar, meminta tas, sepatu, pulsa dan entah apalagi yang dia minta. namun sebagian besar tak saya penuhi. entahlah, saya tak suka ketika seseorang terlalu demanding. semakin demanding, semakin tak saya penuhi. saya merasa, ade sangat menjengkelkan. mungkin karena dia dibesarkan di lombok, dengan kultur yang sangat berbeda dengan jawa, dia lebih terbuka mengungkapkan apa yang dia inginkan, dimana hal itu terasa tidak sopan.
dan kabar buruk pagi itu, menyelipkan penyesalan yang sangat. ade sudah meninggal senin kemarin, setelah kecelakaan motor yang dialaminya sebulan lalu, dia tak pernah membaik setelah itu. kecelakaan motor ketika dia bepergian dengan teman - temannya. ibunya pernah mengeluhkan ini, bagaimana ade sangat nakal, susah diatur.
kesedihan saya campur aduk dengan penyesalan. terlebih lagi, betapa banyak rejection yang lontarkan padanya. saat ini ade, tapi mungkin banyak anak lainnya yang saya perlakukan tidak adil. tidak dicintai dan diabaikan. perasaan ini menusuk - nusuk saya hingga hari ini. ketika di satu sisi saya begitu gembargemborkan cinta, di siss lainnya, saya tak memberikan cinta pada keponakan saya.
maaf ya, ade. dan damai selalu disana...
Subscribe to:
Posts (Atom)