sambil menunggu pesawat yang berangkat malam ini menuju jakarta, saya menyalakan laptop di sebuah coffee shop di tengah kota surabaya. bukankah coffee shop adalah tempat paling ideal untuk menunggu. membuang waktu dengan mengamati orang-orang yang (mungkin) juga sedang membuang waktu. dan uang.
pekerjaan belakangan memberikan saya lebih banyak kesempatan untuk melakukan perjalanan. tugas yang bisa diselesaikan satu hari, kadang saya panjang-panjangkan untuk melakukan perjalanan seorang diri. sesuatu yang sudah lama tidak pernah lagi saya lakukan. mungkin sejak ada G, atau jauh sebelum itu.
sebenarnya tidak selama itu pula saya tidak pernah jalan-jalan. toh sejak menikah, punya anak, bekerja, setiap tahun tetap ada saja perjalanan ke luar kota. untuk liburan, untuk pekerjaan. tapi, seberapa banyak di antaranya yang dilakukan sendirian?
bisa dibilang, melakukan perjalanan sendirian setelah sekian lama, membuat saya gamang. apa yang akan saya lakukan, kemana saya akan berjalan? pertanyaan-pertanyaan itu terkadang justru membuat saya enggan, lalu buru-buru pulang setelah kerjaan terselesaikan. itu yang terjadi selama 6 tahun ini. tentu saja juga karena kerinduan akan rumah selalu memanggil untuk pulang.
padahal, melakukan perjalanan, sendirian, adalah perjalanan yang sesungguhnya. saya mempunyai kesempatan lebih untuk memahami diri sendiri. mau ngapain? mau makan apa? mau kemana? satu-satunya barrier untuk melakukannya adalah waktu, pada jam berapa saya harus ada dimana. perjalanan yang dilakukan sendirian, semacam meditasi ketika saya harus belajar untuk menyelami diri sendiri, -ketika sekian tahun ini-, saya adalah suami, anak, pekerjaan, rekan kerja. a part of society.
berjalan sendirian, membuat saya memikirkan banyak hal. ketika semua atribut itu dilepas, apakah saya? siapakah saya?
saya percaya, dari dulu, bahwa saya harus melengkapi diri saya sendiri sebelum berusaha untuk melengkai orang lain. saya juga harus bisa berbahagia, sebelum bisa membuat orang lain bahagia. karena jika tidak, maka saya hanya akan menjadi seseorang yang demanding, yang menanggungkan kebahagiaan dan keinginan saya ke orang - orang yang berada di sekitar. bukankah hidup akan lebih baik jika bisa memberi, bukan meminta? dan saya rasa, manusia hanya akan bisa memberi ketika dirinya sudah merasa cukup.
saya merasa apa yang sudah saya lalui, adalah cukup. cukup menjadikan saya menjadi manusia, yang sangat sadar akan batasan, yang sangat paham akan kekecewaan, sekaligus sangat bebal untuk terus punya harapan. saya merasa cukup, untuk paham bahwa tidak semua hal harus terjadi sesuai kehendak, bahwa setiap perjalanan selalu dihadapkan pada persimpangan. bahwa manusia tidak akan bisa selamanya bersama, karena itu sebaiknya nikmati saja semua selagi bisa. saya merasa cukup untuk menggantungkan mimpi di tempat yang bisa saya gapai. cukup untuk tahu dimana batas yang nyata dan euforia.
and there i am content.
~caturra espresso surabaya, 6 februari 2016.