satu.
:pak no, penjual rujak manis.
jejak jejak tertinggal tergaris tegas di wajah.
tidak berupa luka, melainkan semangat yang membara.
dan cermin masa lalu yang memantulkan kerasnya perjuangan
bukan untuk kehidupan,
melainkan keinginan untuk bertahan.
dua.
:hamburan manusia.
lalu mata memandang lepas ke tanah laut dan langit tanpa batas.
dan diri mulai mempertanyakan garis,
sejauh mana huruf akan memenjarakan makna?
tapi bukankah memang demikian adanya,
apa jadi dunia tanpa ikatan.
dan kebebebasan serupa kesalahan kata yang terlahirkan.
tiga.
:entah, bapak tua.
seorang lelaki tua bercakap dengan santainya.
yok opo? lha aku lak wes omong..
blablabla.
dan tibatiba aku terpelanting ke negeri segala rasa.
berpijak pada tanah gembur dan pelukan hangat perempuan tua kupanggil bunda.
tersampaikankah rinduku pada mereka?
empat.
:senja, penghabisan.
dan kurindukan senja memerah jingga,
mengabadikan penghabisan yang sempurna,
bukan abu abu pengabur semua.
duapuluhsemibilanmaret. sekian jam. sisasisa tenaga. pantai kuta. hanya aku. catatan - catatan pendek yang tersimpan. k618. chasing cars.
don't quite know how to say how I feel..those three words are said too much..they're not enough. if I lay here. if I just lay here. would you lie with me. and just forget the world..forget what we're told..before we get too old..show me a garden that's bursting into life..
hanyalah barisan coretan yang membentuk kata, lalu berakhir pada cerita, tentang seseorang yang belajar untuk dewasa dalam dunia kekanak-kanakannya.
Friday, March 30, 2007
Thursday, March 29, 2007
tentang kabar hujan
kukabarkan cerita pada kotamu yang kekeringan.
hujan menyambangi kotaku beberapa hari belakangan. mungkin membawa pesan atau mampir setelah jalan yang melelahkan. bisa juga hanya ingin menyebarkan kantong kantong kerinduan. seperti yang sekarang kamu rasakan.
seharusnya semua menyenangkan. iyah, seharusnya. karena ingatkah kamu akan kenangan yang kita simpan. ketika kita belum menganal malu, belum tau tentang tabu, dan hanya berkolor pendek memaguti tetes tetes air yang jatuh dari talang seng di beranda rumah tua. pada sisa sisa hujan di sebuah siang. berlompat bergerak tak tentu arah, dan kata menyebutnya tarian hujan. sambil menggigil kedinginan, pantas saja, karena kita bertelanjang dada. tapi tak mengapa, toh itu sudah membuat kita bersuka cita bukan? membuat iri orang orang dewasa yang melihat dari sudut mata. sebelum akhirnya omelan omelan meluncur dari bibir mereka. tak pernah kita paham, selain itu hanya bentuk kecerewetan, banyak kata.
setidaknya itulah yang aku pikirkan tentang mereka. kekhawatiran yang berlebihan. bukankah waktu itu kita adalah anak anak perkasa dengan semangat yang membara. tentu saja masih kuingat betapa tak berdayanya aku ketika guru SD kita menyuruhku berlari mengelilingi lapangan bola. tentu saja. karena pada saat itu matahari sedang melototi dan menyengatku dengan panasnya. berbeda dengan hujan, dia seperti menyiramkan energi kerinduan yang mampu membuat kita bertahan atas dinginnya siang. tak usah hiraukan hardikan ibu kita, yang ada kita hanya berpindah dari satu talang seng ke talang seng lainnya untuk menikmati grojogan menyiram muka kita. seperti sebuah tamparan. menyakitkan, tetapi semakin sering terulang, semakin nikmat rasanya.
tapi kini, semua tak lagi sama. jangankan berkolor pendek bertelanjang dada, bahkan pernah suatu kali, ketika dalam perjalanan dari kantorku ke kamar hujan mencumbu, dan kubiarkan tetes tetes airnya membelai pelan, sampai akhirnya justru menampar kasar, seperti menampar malu. tapi apa yang kudapatkan disitu. tak lagi ada keriangan, kecuali rentetan mata memandang keheranan. seperti tuduhan, atas dosadosa yang aku lakukan. tatapan menusuk, membuatku tertunduk. jangankan tertawa tawa riang, sambil membiarkan air hujan ikutan tertelan, bahkan untuk menatap balik sambil mengajak mereka bermain hujanpun tak mampu kulakukan. mungkin disangkanya aku setengah gila. pada cuaca sedingin es yang mampu membuat tulang membeku, dan pada saat orang lain lebih memilih bersembunyi dibalik mantel atau di emperan toko, aku justru memilih menerjang derasnya hujan. tak lain dan tak bukan karena aku begitu merindukanmu.
aku tahu tak seharusnya aku mengeluh, ketika aku tau kamu disitu bahkan tak pernah lagi mengecap manisnya kenangan yang tersampaikan oleh hujan. mungkin bahkan rindumu sudah menjadi kaku. kini aku tau, kenapa orang orang dewasa melirik kita dari sudut matanya. mungkin karena perhatian, kekhawatiran, tapi mungkin juga karena cemburu. pada kepolosan yang telah digerogoti waktu.
ah, mungkin benar yang dikatakan seseorang, bahwa kesepian bukan soal tak ada teman. tapi bisa juga ketika hujan datang menyambang, dan pikiran sedang menerawang. tak berpijak pada kenyataan, melainkan terbang bersama kenangan.
**catatan kerinduan, untuk teman berbagi hujan.
hujan menyambangi kotaku beberapa hari belakangan. mungkin membawa pesan atau mampir setelah jalan yang melelahkan. bisa juga hanya ingin menyebarkan kantong kantong kerinduan. seperti yang sekarang kamu rasakan.
seharusnya semua menyenangkan. iyah, seharusnya. karena ingatkah kamu akan kenangan yang kita simpan. ketika kita belum menganal malu, belum tau tentang tabu, dan hanya berkolor pendek memaguti tetes tetes air yang jatuh dari talang seng di beranda rumah tua. pada sisa sisa hujan di sebuah siang. berlompat bergerak tak tentu arah, dan kata menyebutnya tarian hujan. sambil menggigil kedinginan, pantas saja, karena kita bertelanjang dada. tapi tak mengapa, toh itu sudah membuat kita bersuka cita bukan? membuat iri orang orang dewasa yang melihat dari sudut mata. sebelum akhirnya omelan omelan meluncur dari bibir mereka. tak pernah kita paham, selain itu hanya bentuk kecerewetan, banyak kata.
setidaknya itulah yang aku pikirkan tentang mereka. kekhawatiran yang berlebihan. bukankah waktu itu kita adalah anak anak perkasa dengan semangat yang membara. tentu saja masih kuingat betapa tak berdayanya aku ketika guru SD kita menyuruhku berlari mengelilingi lapangan bola. tentu saja. karena pada saat itu matahari sedang melototi dan menyengatku dengan panasnya. berbeda dengan hujan, dia seperti menyiramkan energi kerinduan yang mampu membuat kita bertahan atas dinginnya siang. tak usah hiraukan hardikan ibu kita, yang ada kita hanya berpindah dari satu talang seng ke talang seng lainnya untuk menikmati grojogan menyiram muka kita. seperti sebuah tamparan. menyakitkan, tetapi semakin sering terulang, semakin nikmat rasanya.
tapi kini, semua tak lagi sama. jangankan berkolor pendek bertelanjang dada, bahkan pernah suatu kali, ketika dalam perjalanan dari kantorku ke kamar hujan mencumbu, dan kubiarkan tetes tetes airnya membelai pelan, sampai akhirnya justru menampar kasar, seperti menampar malu. tapi apa yang kudapatkan disitu. tak lagi ada keriangan, kecuali rentetan mata memandang keheranan. seperti tuduhan, atas dosadosa yang aku lakukan. tatapan menusuk, membuatku tertunduk. jangankan tertawa tawa riang, sambil membiarkan air hujan ikutan tertelan, bahkan untuk menatap balik sambil mengajak mereka bermain hujanpun tak mampu kulakukan. mungkin disangkanya aku setengah gila. pada cuaca sedingin es yang mampu membuat tulang membeku, dan pada saat orang lain lebih memilih bersembunyi dibalik mantel atau di emperan toko, aku justru memilih menerjang derasnya hujan. tak lain dan tak bukan karena aku begitu merindukanmu.
aku tahu tak seharusnya aku mengeluh, ketika aku tau kamu disitu bahkan tak pernah lagi mengecap manisnya kenangan yang tersampaikan oleh hujan. mungkin bahkan rindumu sudah menjadi kaku. kini aku tau, kenapa orang orang dewasa melirik kita dari sudut matanya. mungkin karena perhatian, kekhawatiran, tapi mungkin juga karena cemburu. pada kepolosan yang telah digerogoti waktu.
ah, mungkin benar yang dikatakan seseorang, bahwa kesepian bukan soal tak ada teman. tapi bisa juga ketika hujan datang menyambang, dan pikiran sedang menerawang. tak berpijak pada kenyataan, melainkan terbang bersama kenangan.
**catatan kerinduan, untuk teman berbagi hujan.
tentang jarak
from. 081706633xx
to. 08123852xxx
-sent-
akhir 2005 - maret 2007. denpasar - nusa dua, tak lebih dari 30 kimometer saja. bali - timika, dengan beberapa pulau diantaranya. 2 kali pertemuan, hanya. natal 2005. dan november 2006. dengan nana.
saya menyebutnya satu hubungan yang aneh. mungkin benar, jarak hanya ada di hati kita kah?
to. 08123852xxx
aneh ga seh ngerasa kehilangan padahal ga pernah memiliki?
-sent-
akhir 2005 - maret 2007. denpasar - nusa dua, tak lebih dari 30 kimometer saja. bali - timika, dengan beberapa pulau diantaranya. 2 kali pertemuan, hanya. natal 2005. dan november 2006. dengan nana.
saya menyebutnya satu hubungan yang aneh. mungkin benar, jarak hanya ada di hati kita kah?
Wednesday, March 28, 2007
tentang pertanda
There is no time (or reason) to mull things over.
Just get it done.
:untuk pria
kamu percaya suatu pertanda, pria?
bukan karena aku pernah membaca Sang Alkemis-nya Paulo Choelho, karena jujur aku katakan padamu, aku tak terlalu gemar membaca buku - buku yang ditulisnya, terlalu berat untuk otakku yang mungkin tak se-njimet itu. tapi aku memang mempercayai pertanda.
ketika angin mengabarkan berita lewat sayupnya, entah itu berupa kemarahan atau justru kelembutan - kelembutan yang ditiupkan pada pucuk akasia, tentang lelah dan penat yang mungkin sudah mencapai batas kesabaran. pun ketika hujan mengguyur basah tanah - tanah sawah, membanjirinya dengan luapan kesedihan , atau hanya sebagai pengobat kerinduan setelah lama kekeringan. dan kukatakan padamu, itupun adalah pertanda.
pada senja yang belakangan telah kehilangan keindahannya. abu - abu yang menyelimuti jingga dan menyisakan rasa sakit yang mau tak mau menikam dada. ketika pantai telah kehilangan pesonanya, dan melukiskan gerusan ombak yang membabat habis tak menyisakan lahan untuk kita lagi bersuka cita dengan bola. seperti itulah pertanda.
dan saat ini, pada teguk terakhir dari secangkir kopi yang seharusnya menemani pagi, sambil jemari mencoba menuliskan pelangi yang disisakan hujan tadi, satu kata terlempar dari sudut hati. semua kesedihan yang ditinggalkan pembicaraan kita semalam sepertinya hanya serupa mimpi. menggoreskan cacat tak hanya kamu pria, tapi akupun merasa dilukai. ego dan harga diri. semua itu hanya serupa permainan tanpa pernah tau apa yang menyenangkan dari keduanya. dan lebih konyol, karena kita bertahan atas sesuatu yang absurd dan kita namakan keyakinan. ah, persetan. kata memang tak setajam belati, tapi jika itu ditorehkan pada hati, mungkin sakitnya setengah mati. benar katamu, pria. semua tak harus diakhiri saat ini, tapi diselesaikan dengan rapi. tak lagi meninggalkan jejak yang belum usai.
karena bukankah seperti katamu, pria. bahwa sekarang kita sedang mengukir kenangan untuk hari nanti?
Just get it done.
:untuk pria
kamu percaya suatu pertanda, pria?
bukan karena aku pernah membaca Sang Alkemis-nya Paulo Choelho, karena jujur aku katakan padamu, aku tak terlalu gemar membaca buku - buku yang ditulisnya, terlalu berat untuk otakku yang mungkin tak se-njimet itu. tapi aku memang mempercayai pertanda.
ketika angin mengabarkan berita lewat sayupnya, entah itu berupa kemarahan atau justru kelembutan - kelembutan yang ditiupkan pada pucuk akasia, tentang lelah dan penat yang mungkin sudah mencapai batas kesabaran. pun ketika hujan mengguyur basah tanah - tanah sawah, membanjirinya dengan luapan kesedihan , atau hanya sebagai pengobat kerinduan setelah lama kekeringan. dan kukatakan padamu, itupun adalah pertanda.
pada senja yang belakangan telah kehilangan keindahannya. abu - abu yang menyelimuti jingga dan menyisakan rasa sakit yang mau tak mau menikam dada. ketika pantai telah kehilangan pesonanya, dan melukiskan gerusan ombak yang membabat habis tak menyisakan lahan untuk kita lagi bersuka cita dengan bola. seperti itulah pertanda.
dan saat ini, pada teguk terakhir dari secangkir kopi yang seharusnya menemani pagi, sambil jemari mencoba menuliskan pelangi yang disisakan hujan tadi, satu kata terlempar dari sudut hati. semua kesedihan yang ditinggalkan pembicaraan kita semalam sepertinya hanya serupa mimpi. menggoreskan cacat tak hanya kamu pria, tapi akupun merasa dilukai. ego dan harga diri. semua itu hanya serupa permainan tanpa pernah tau apa yang menyenangkan dari keduanya. dan lebih konyol, karena kita bertahan atas sesuatu yang absurd dan kita namakan keyakinan. ah, persetan. kata memang tak setajam belati, tapi jika itu ditorehkan pada hati, mungkin sakitnya setengah mati. benar katamu, pria. semua tak harus diakhiri saat ini, tapi diselesaikan dengan rapi. tak lagi meninggalkan jejak yang belum usai.
karena bukankah seperti katamu, pria. bahwa sekarang kita sedang mengukir kenangan untuk hari nanti?
Monday, March 26, 2007
tentang satu babak
dan saya bukan dewi yang lahir di negeri dewa. saya bukan orang yang tidak mengenal kebencian, kemarahan ataupun kemurkaan. pun saya bukan orang yang tak mengenal rasa dendam, keserakahan, dan iri hati.
tapi bukankah hidup adalah taman bermain yang seharusnya menyenangkan? iya, seharusnya. ketika memikirkan bahwa segala sesuatu yang terjadi bisa saja tak lebih dari adegan dalam sebuah film. entah sebuah film romance, action, komedi, atau intrik psikologi. seperti yang seringkali diucap keponakan saya, si rani, ketika saya bersamanya menonton acara di salah satu stasiun televisi jumat lalu. satu acara yang memperlihatkan seorang banteng yang sedang menyeruduk peserta sebuah lomba. dan ketika saya mulai histeris, keponakan saya dengan tenangnya berkata, tante, itu khan hanya action, rekaman saja, jangan panik. meski sambil mengatakan hal itu, dia membalikkan muka membelakangi televisi. tapi setidaknya, dia jauh lebih tenang daripada saya, tantenya.
mungkin memang demikian harusnya menyikapi hidup, tidak usah panik. bukankah terkadang semua ini tak lebih dari rentetan babak yang akhirnya membentuk suatu cerita? entah kita sebagai sutradara, ataupun hanya lakon didalamnya. menyedihkan ketika saya seringkali berfikir, bahwa garis tanganpun bisa saya rubah. sedangkan di saat lainnya, saya hanya seperti debu yang berjalan mengikuti arus. ketika saya berfikir bahwa semuanya seharusnya baek - baek saja, sedangkan di saat lain, sayapun tak pernah punya kuasa untuk mengendalikan semua hal di luaran sana.
ya, karena saya bukan dewi yang lahir di negeri dewa. tak jarang terperosok pada dendam dan keirihatian. tak mampu memenuhi semua relung hati dengan cinta kasih untuk selalu menyayangi pun memberi. dan ketika segala hal tak sesuai dengan harapan, semua hanya menyisakan satu rasa yang membuat semuanya tampak salah. rasa lelah.
dan kepanikan, untuk menghadapi satu tikungan tajam di depan seharusnya tak berlebihan. pun ketika berada di dasar lembah terendahpun, tak harus lari terburu2 mengejar ketertinggalan. terdengar skeptis, ketika saya katakan, bukankah hidup hanya rentetan babak yang tak pernah kita sadari, apa peran kita di dalamnya, sebagai sutradara, ataukah lakon semata.
ah, saya bukan dewi yang lahir di negeri dewa. pun saya bukan mereka, yang hidup di nirwana. dan hidup saya, tak selalu tergambar indah seperti sebuah fatamorgana. seringkali saya terpental jauh keluar dari mimpi, meski tak pernah saya berhenti mencoba mempercayai. dan kadang lainnya, saya seringkali dihadapkan pada sebuah realita yang tidak saya suka. dan seandainya ini adalah satu adegan dalam filem dramatis psikologis, bisakah saya skip satu babak untuk melompat ke babak selanjutnya?
tapi bukankah hidup adalah taman bermain yang seharusnya menyenangkan? iya, seharusnya. ketika memikirkan bahwa segala sesuatu yang terjadi bisa saja tak lebih dari adegan dalam sebuah film. entah sebuah film romance, action, komedi, atau intrik psikologi. seperti yang seringkali diucap keponakan saya, si rani, ketika saya bersamanya menonton acara di salah satu stasiun televisi jumat lalu. satu acara yang memperlihatkan seorang banteng yang sedang menyeruduk peserta sebuah lomba. dan ketika saya mulai histeris, keponakan saya dengan tenangnya berkata, tante, itu khan hanya action, rekaman saja, jangan panik. meski sambil mengatakan hal itu, dia membalikkan muka membelakangi televisi. tapi setidaknya, dia jauh lebih tenang daripada saya, tantenya.
mungkin memang demikian harusnya menyikapi hidup, tidak usah panik. bukankah terkadang semua ini tak lebih dari rentetan babak yang akhirnya membentuk suatu cerita? entah kita sebagai sutradara, ataupun hanya lakon didalamnya. menyedihkan ketika saya seringkali berfikir, bahwa garis tanganpun bisa saya rubah. sedangkan di saat lainnya, saya hanya seperti debu yang berjalan mengikuti arus. ketika saya berfikir bahwa semuanya seharusnya baek - baek saja, sedangkan di saat lain, sayapun tak pernah punya kuasa untuk mengendalikan semua hal di luaran sana.
ya, karena saya bukan dewi yang lahir di negeri dewa. tak jarang terperosok pada dendam dan keirihatian. tak mampu memenuhi semua relung hati dengan cinta kasih untuk selalu menyayangi pun memberi. dan ketika segala hal tak sesuai dengan harapan, semua hanya menyisakan satu rasa yang membuat semuanya tampak salah. rasa lelah.
dan kepanikan, untuk menghadapi satu tikungan tajam di depan seharusnya tak berlebihan. pun ketika berada di dasar lembah terendahpun, tak harus lari terburu2 mengejar ketertinggalan. terdengar skeptis, ketika saya katakan, bukankah hidup hanya rentetan babak yang tak pernah kita sadari, apa peran kita di dalamnya, sebagai sutradara, ataukah lakon semata.
ah, saya bukan dewi yang lahir di negeri dewa. pun saya bukan mereka, yang hidup di nirwana. dan hidup saya, tak selalu tergambar indah seperti sebuah fatamorgana. seringkali saya terpental jauh keluar dari mimpi, meski tak pernah saya berhenti mencoba mempercayai. dan kadang lainnya, saya seringkali dihadapkan pada sebuah realita yang tidak saya suka. dan seandainya ini adalah satu adegan dalam filem dramatis psikologis, bisakah saya skip satu babak untuk melompat ke babak selanjutnya?
Wednesday, March 21, 2007
tentang waktu dan kita
kamu. aku sering ngerasa aneh
aku. aneh?
kamu. iya aneh>
aku. tentang?
kamu. karena aku dan mantan pacar selalu tidak berakhir baik
aku. aku juga
aku. tidak selalu
aku. tapi kadang waktu membuat sebagian kembali baek2 saja
kamu. bener
kamu. waktu akan membuat baik2 saja
aku. iyah
kamu. mudah2an aku punya waktu yah
aku. haha
aku. waktu khan ga punya kita
aku. justru waktu yg memiliki kita.. bukan kita yg memiliki waktu
aku. toh ada atau tidak adanya kita, waktu tetap berjalan apa adanya..
dan gravitasi selalu menang. sayangnya kita bukan pusat dari gravitasi mereka. tapi setidaknya, hidup saya berputar tentang kamu. dan saya pun tahu, hidup kamu berputar bersamaan dengan ritme hidup saya. terima kasih untuk pelukan yang menentramkan jiwa. it feels like home, a place where i wanna go to..
percakapan saya dan kamu. tentang kita.
aku. aneh?
kamu. iya aneh>
aku. tentang?
kamu. karena aku dan mantan pacar selalu tidak berakhir baik
aku. aku juga
aku. tidak selalu
aku. tapi kadang waktu membuat sebagian kembali baek2 saja
kamu. bener
kamu. waktu akan membuat baik2 saja
aku. iyah
kamu. mudah2an aku punya waktu yah
aku. haha
aku. waktu khan ga punya kita
aku. justru waktu yg memiliki kita.. bukan kita yg memiliki waktu
aku. toh ada atau tidak adanya kita, waktu tetap berjalan apa adanya..
dan gravitasi selalu menang. sayangnya kita bukan pusat dari gravitasi mereka. tapi setidaknya, hidup saya berputar tentang kamu. dan saya pun tahu, hidup kamu berputar bersamaan dengan ritme hidup saya. terima kasih untuk pelukan yang menentramkan jiwa. it feels like home, a place where i wanna go to..
percakapan saya dan kamu. tentang kita.
Friday, March 16, 2007
tentang sisi lain
aku itu sebenarnya bukan orang yang tidak sesitif. sebenarnya, setiap kali aku diejek ataupun jadi bahan becandaan, korban tepatnya, ada seh sedikit rasa sakit ati. sebenarnya aku juga orang yang sangat serius. aku men-treat hidupku juga dengan sangat serius. tapi ntah kenapa orang - orang di sekitarku seringkali menganggap aku ini orang yang tidak serius, lalu mereka mulai mengolok - olok aku, lalu mulai menghinaku, menjadikan aku bahan ejekan mereka. seperti yang aku bilang tadi, sakit hati loh wi. tapi kadang aku juga mikir sih, kalau itu setidaknya bisa membuat mereka sedikit berbahagia, ya sudahlah. gapapa.
satu sesi pembelajaran.
seperti tertohok rasanya. karena pada saat itu, saya sadar saya adalah sebagian dari orang - orang yang telah dia sebutkan. meskipun saya tak pernah bermaksud, benar - benar mengoloknya, ataupun menjadikan dia sebuah object penderita untuk celaan - celaan saya.
berwajah agak tampan, tapi innocent, dengan tatapan mata yang polos seakan tak mengerti apapun, dan seringkali selangkah lebih lambat dalam berfikir, menjadikan dia, teman saya ini sebagai tumpahan becandaan yang lain. entah yang benar - benar bermaksud mencandainya, atau sampe akhirnya candaan itu berubah menjadi hinaan. dan sejauh ini, dia selalu menganggapi dengan ikutan tertawa, seakan sudah pasrah dirinya teraniaya. tentu saja tidak dalam arti sesungguhnya.
dan alangkah terkejutnya saya, ketika pada satu sesi acara pelatihan, tak disengaja kami dipasangkan. satu sesi dimana kami harus mengeluarkan semua uneg - uneg kami, berbicara tentang apa saja. membebaskan diri dari pikiran dnegan cara mengeluarkan semuanya. dan itulah katakata nya yang saya ingat darinya.
jadi kembali terpikir apa yang sudah kami lalui. saya justru mencelanya, karena saya begitu menyayanginya. saya suka melihatnya tertawa setiap kali saya olok2 dia. dan saya kira yang lainpun begitu.
pesan yang tak tersampai dengan sempurna?
dan yeap, pada saat sesi itu, setelah saya kira dia selesai mengeluarkan semua apa yang dipikirkannya, dan tiba giliran saya untuk mengeluarkan semua yang ada dipikiran saya, saya hanya mampu mengatakan satu kalimat padanya. saya baek - baek saja.
Tuesday, March 13, 2007
tentang proses
dan saya baru sadar, ternyata tidak mudah untuk mensinkronkan dua kepala yang isinya berbeda. tak cukupkah dengan kita bicara satu bahasa saja??
bahasa cinta.
sekian jam yang dihabiskan untuk taman bermain baru, berhenti sejenak dari rutinitas. tigabelasmaret. dengan kamu.
Thursday, March 08, 2007
tentang percakapan dua nama
- apakah menurutmu kita ini seringkali membohongi diri sendiri?
- saya kira begitu...
+ maksutnya ?
- iyah..membohongi diri sendiri.
- misal dengan mengatakan "ini penting..yg itu lupakan saja". pdhl sbnrnya kita sendiri tidak ingin melupakan hal tersebut.
- atau berkata, "aku baek2 saja", sedangkan sbnrnya kita sendiri tidak ingin menjadi baik2 saja.
+ hmmmm ... barangkali ...
- dan alam bawah sadar bisa jadi adalah kejujuran yang ingin memperlihatkan diri
+ iya ... barangkali ...
- hahaa..take it easy
percakapan kotak maya, dengan sebuah nama. satu sudut dnegan jendela kaca, dan gerimis yang masih saja mempesona.
- saya kira begitu...
+ maksutnya ?
- iyah..membohongi diri sendiri.
- misal dengan mengatakan "ini penting..yg itu lupakan saja". pdhl sbnrnya kita sendiri tidak ingin melupakan hal tersebut.
- atau berkata, "aku baek2 saja", sedangkan sbnrnya kita sendiri tidak ingin menjadi baik2 saja.
+ hmmmm ... barangkali ...
- dan alam bawah sadar bisa jadi adalah kejujuran yang ingin memperlihatkan diri
+ iya ... barangkali ...
- hahaa..take it easy
percakapan kotak maya, dengan sebuah nama. satu sudut dnegan jendela kaca, dan gerimis yang masih saja mempesona.
Monday, March 05, 2007
tentang cerita tanah dewa
perjalanan.
pernah aku ceritakan padamu tempat dimana aku menghabiskan hari?
baiklah. mungkin perlahan, lewat kata yang terbatas aku bisa melukiskan sesuatu akanku. aku hidup di satu tempat yang seringkali dikata sebagai tanah dewa.
apa coba yang kurang? ketika aku merindukan pagi dengan mentari yang cantik menyinari, tinggal kukayuh sepeda, mungkin tak perlu lebih dari 30 menit untuk sampai. ketika aku katakan aku merindukan pantai dengan pasir putih dan ombak yang mengakrabi kaki, tak lebih dari 1 jam aku sudah bisa mencengkeramai. ketika kubilang aku merindukan senja, tinggal kupilih tempat, pada jajaran gedung tinggi, pantai atau bangku panjang, dengan ditemani segelas kopi. lalu, ketika aku rindu untuk melihat bintang, aku tinggal katakan padanya, yang selanjutnya akan menggenggam tanganku menyusuri malam tanpa perlu terang neon untuk menyaingi. sawah, sungai, gunung, laut, bukan lagi barang mahal. dekat, meski tetap saja buatku rasanya mewah. belum lagi tempat makan bertaraf internasional berjejer menggoda.
apalagi yang kurang? sepanjang jalan mata mata memandang riang, seperti keramahtamahan telah terpatri erat berbaur senyum yang senantiasa mengembang. entah memang seperti itu, atau senyum terpasang karena sebuah kewajiban. tak perlu risaukan, karena disini semua aman. meski segala sesuatu terjual, dan dijadikan barang dagangan. dari pantai, gunung, sungai, lalu tarian, bahkan senyuman. apa yang tidak bisa diuangkan? apa yang tidak bisa membuat senang?
gemerlapnnya dunia ditawarkan. bersanding dengan kesakralan yang diagungkan. bahkan, nilai sakral sendiri seringkali jadi pertanyaan, ketika semuanya sudah menjadi tontonan. seperti sinetron, kadang segala sesuatu dibuat dalam proses kejar tayang.
belum, belum selesai aku bercerita. kemarin lagi - lagi aku bersepeda. menempuh perjalanan kebagian laen dari tanah dewa. negeri tak terjamah, temanku penah berkata demikian. dari awal dia sudah berpesan, jangan penuh pengharapan, karena kita tak lagi akan menjejak tanah kesayangan. tinggalkan kerinduan pada pantai, pada senja, pada secangkir kopi moccha, dan juga pada senyuman mesra. karena disini, kenyataan berkata beda.
maka mulailah aku berkelana. hanya satu jam, satu jam waktu yang kuperlukan untuk sampai disana. sama seperti satu jam yang kuhabiskan untuk menggapai pantai berpasir putih dan ombak yang mengakrabi kaki. tapi jangan bayangkan segala keindahan, karena disini kutemukan segala ketimpangan. jika di tanah dewa aku tak mengenal kelaparan, disini aku benarbenar melihat kesedihan. seperti kata teman, lupakan pantai, ombak, gunung, dan segala keindahan, karena disini hanya berjejal batu karang bekas letusan. gersang. bahkan pohonpun tumbuh dengan enggan.
tidak ada senyuman ramah, kecuali muka masam menahan amarah. tak terkata memang, tapi raut membilang semuanya. sunggingan pahit dan muka kelelahan tersebar dimana mana. tak ada sapaan hangat, yang ada hanya kata - kata penuh paksaan. tak berhasil, maka alih alih meminta minta. seribu, dua ribu, lima ribu, berapa saja ditawarkan hanya untuk mendapatkan rupiah. bujuk rayu, sampai dengan ancaman. tiba - tiba semua rasa aman menghilang. aku ketakutan. karena tak ada yang lebih menyeramkan dari manusia ketika dia sedang haus dan kelaparan.
lalu, masihkah kukata tak ada yang kurang? sedang disini satu jurang menganga lebar, jurang kesenjangan. siapa yang hendak disalahkan? sang penguasa ketika dia sibuk membangun hotel berbintang berjejer mewah dan lupa, kalau dibagian lain belum terjamah. pada jaman, yang terlalu cepat berjalan sedang di bagian lagi masih ada yang tertatih pincang. atau pada dewa, yang konon katanya mengutuk mereka untuk tetap menjadi peminta minta seumur hidupnya?
catatan singkat atas kesedihan. sisa perjalanan mendekati trunyan. dan bangli, kota di timur bali. dimana kesenjangan dan kemiskinan adalah kenyataan. tak lagi mimpi. empat maret dua ribu tujuh.
pernah aku ceritakan padamu tempat dimana aku menghabiskan hari?
baiklah. mungkin perlahan, lewat kata yang terbatas aku bisa melukiskan sesuatu akanku. aku hidup di satu tempat yang seringkali dikata sebagai tanah dewa.
apa coba yang kurang? ketika aku merindukan pagi dengan mentari yang cantik menyinari, tinggal kukayuh sepeda, mungkin tak perlu lebih dari 30 menit untuk sampai. ketika aku katakan aku merindukan pantai dengan pasir putih dan ombak yang mengakrabi kaki, tak lebih dari 1 jam aku sudah bisa mencengkeramai. ketika kubilang aku merindukan senja, tinggal kupilih tempat, pada jajaran gedung tinggi, pantai atau bangku panjang, dengan ditemani segelas kopi. lalu, ketika aku rindu untuk melihat bintang, aku tinggal katakan padanya, yang selanjutnya akan menggenggam tanganku menyusuri malam tanpa perlu terang neon untuk menyaingi. sawah, sungai, gunung, laut, bukan lagi barang mahal. dekat, meski tetap saja buatku rasanya mewah. belum lagi tempat makan bertaraf internasional berjejer menggoda.
apalagi yang kurang? sepanjang jalan mata mata memandang riang, seperti keramahtamahan telah terpatri erat berbaur senyum yang senantiasa mengembang. entah memang seperti itu, atau senyum terpasang karena sebuah kewajiban. tak perlu risaukan, karena disini semua aman. meski segala sesuatu terjual, dan dijadikan barang dagangan. dari pantai, gunung, sungai, lalu tarian, bahkan senyuman. apa yang tidak bisa diuangkan? apa yang tidak bisa membuat senang?
gemerlapnnya dunia ditawarkan. bersanding dengan kesakralan yang diagungkan. bahkan, nilai sakral sendiri seringkali jadi pertanyaan, ketika semuanya sudah menjadi tontonan. seperti sinetron, kadang segala sesuatu dibuat dalam proses kejar tayang.
belum, belum selesai aku bercerita. kemarin lagi - lagi aku bersepeda. menempuh perjalanan kebagian laen dari tanah dewa. negeri tak terjamah, temanku penah berkata demikian. dari awal dia sudah berpesan, jangan penuh pengharapan, karena kita tak lagi akan menjejak tanah kesayangan. tinggalkan kerinduan pada pantai, pada senja, pada secangkir kopi moccha, dan juga pada senyuman mesra. karena disini, kenyataan berkata beda.
maka mulailah aku berkelana. hanya satu jam, satu jam waktu yang kuperlukan untuk sampai disana. sama seperti satu jam yang kuhabiskan untuk menggapai pantai berpasir putih dan ombak yang mengakrabi kaki. tapi jangan bayangkan segala keindahan, karena disini kutemukan segala ketimpangan. jika di tanah dewa aku tak mengenal kelaparan, disini aku benarbenar melihat kesedihan. seperti kata teman, lupakan pantai, ombak, gunung, dan segala keindahan, karena disini hanya berjejal batu karang bekas letusan. gersang. bahkan pohonpun tumbuh dengan enggan.
tidak ada senyuman ramah, kecuali muka masam menahan amarah. tak terkata memang, tapi raut membilang semuanya. sunggingan pahit dan muka kelelahan tersebar dimana mana. tak ada sapaan hangat, yang ada hanya kata - kata penuh paksaan. tak berhasil, maka alih alih meminta minta. seribu, dua ribu, lima ribu, berapa saja ditawarkan hanya untuk mendapatkan rupiah. bujuk rayu, sampai dengan ancaman. tiba - tiba semua rasa aman menghilang. aku ketakutan. karena tak ada yang lebih menyeramkan dari manusia ketika dia sedang haus dan kelaparan.
lalu, masihkah kukata tak ada yang kurang? sedang disini satu jurang menganga lebar, jurang kesenjangan. siapa yang hendak disalahkan? sang penguasa ketika dia sibuk membangun hotel berbintang berjejer mewah dan lupa, kalau dibagian lain belum terjamah. pada jaman, yang terlalu cepat berjalan sedang di bagian lagi masih ada yang tertatih pincang. atau pada dewa, yang konon katanya mengutuk mereka untuk tetap menjadi peminta minta seumur hidupnya?
catatan singkat atas kesedihan. sisa perjalanan mendekati trunyan. dan bangli, kota di timur bali. dimana kesenjangan dan kemiskinan adalah kenyataan. tak lagi mimpi. empat maret dua ribu tujuh.
Friday, March 02, 2007
tentang sistem
well, saya belom pernah sih berada di posisi kamu itu. dimana saya harus jadi orang yg nentuin nasib orang laen. but life will find the way, dew.
minggu yang berat buat saya. satu bulan ke depan terpaksa diawali oleh satu peristiwa yang tidak mengenakkan. saya harus mengambil keputusan, antara kebaikan untuk perusahaan atau, kebaikan untuk perasaan saya. memang keputusan itu tidak mutlak ada di tangan saya, tapi dengan mengantarkan seseorang ke proses pemutusan hubungan kerja dari perusahaan itu sama aja saya ikut andil menentukan nasib dia.
ah, tapi bukankah hukum kapitalis tidak lagi mengenal rasa enak dan ga enak. seperti pembicaraan dengan seorang teman, kosmosnya adalah keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan. jika tidak, disitulah memungkinkan adanya chaos. untuk menjaga keseimbangan tetap pada tempatnya, harus mengorbankan banyak hal. lagi2 masalah kepentingan. tidak ada jiwa, tidak ada hati, dan mungkin tidak ada tuhan. karena tuhan adalah uang. jika sudah seperti ini, apa masih bisa dikata takdir? sedangkan semua ini terjadi karena kepentingan kepentingan. invisible hand, huh?! dan secara tidak langsung, sayalah invisible hand itu sendiri.
dan ternyata benar. menjadi sadar itu capek, menjadi sadar itu melelahkan. tapi mungkin memang tidak ada kehidupan yang lebih mengesankan dari semua ini bukan? tidak naif, hidup tidak selalu harus melawan. seperti teman saya bilang, ada saatnya harus menjadi batu, dan ada saatnya menjadi air.
hahahha..salut saya sama kamu karena masih ngejalanin idup di dalem kemonotonan seperti kehidupan di denpasar dengan tetep punya kesadaran semacam itu. berarti kamu gak cocok idup di dalem sistem kapitalis.
dan saya hanya takut mati justru ketika saya masih bisa bernafas.
percakapan2 dengan kamu. terima kasih untuk menjadikan saya kertas untuk kamu tulisi satu waktu. btw, tidakkah kamu pikir url kita mirip? ah, sudahlah. saya pernah mengatakannya sebelumnya bukan?
Subscribe to:
Posts (Atom)