tidak pernah ada kata yang cukup untuk menceritakan jagoan kecil saya. catatan telah dibuat berulangkali, cerita silih berganti. selamat melewati tahun pertama, nang! terima kasih untuk segala yang kamu berikan pada kami :)
~catatan tertinggal, 17 april 2011.
hanyalah barisan coretan yang membentuk kata, lalu berakhir pada cerita, tentang seseorang yang belajar untuk dewasa dalam dunia kekanak-kanakannya.
Thursday, April 21, 2011
Friday, April 15, 2011
way of life
saya ingat beberapa waktu lalu, masih tentang twitter dan segala diskusinya. tiba-tiba ada seseorang, -yang saya lupa itu siapa-, bertanya "kamu tau kan apa artinya din?"
dan karena twitter adalah ruang diskusi terbuka dimana semua orang bisa melihat apa yang diperbincangkan, -kecuali jika accountnya diprotect-, saya pun mau tak mau menyimak diskusi yang mulai memanas itu. sebenarnya bukan mau tak mau, tapi beberapa hal memang menarik buat saya, termasuk ketika orang memperdebatkan keyakinan. lucu saja ketika sebuah atau beberapa keyakinan diperdebatkan, karena itu toh percuma. namanya juga sebuah keyakinan, mana ada orang yang meyakini sesuatu yang dia anggap salah?
dan kembali ke diskusi di ranah twitter tadi, saya akhirnya mengetahui jika ternyata arti kata din bukanlah semata-mata agama, melainkan jalan hidup. the way of life. saya sendiri tidak tahu apakah itu mutlak benar, tapi menurut saya itu yang paling masuk akal.
saya dilahirkan dari keluarga yang bisa dibilang tidak relijius-religius sangat. Kedua orang tua saya memang sembahyang, tapi mereka tidak pernah mengukur sesuatu atau seseorang dengan takaran agama, dengan dosa atau pahala. bapak adalah seorang pensiunan angkatan laut, dan pakdhe saya dulu sempat menjadi buronan ketika pecah pemberontakan 30 Sept 65. orang tua saya membekali kami anak-anaknya dengan belajar mengaji, tapi kakak perempuan saya hingga kini penganut kristiani. bisa dibayangkan betapa berwarnanya keluarga saya bukan?
dan saya besar di lingkungan dimana Islam bukanlah mayoritas. saya masih ingat sekian kilometer yang harus ditempuh ketika hendak shalat teraweh. atau ketika suara kakak ipar saya melantunkan ayat-ayat quran, silih berganti dengan suara kidung dari pura desa yang berjarak sekian meter dari kontrakan tempat kami tinggal. sayapun pada akhirnya mulai terbiasa berkebaya, metirta, dan mebija jika ada piodalan di rumah tempat saya tinggal. bahkan tak jarang saya membantu ibu kost membuat canang, meracik bunga. yah, kalau sekedar bikin canang ceper, saya sudah mahir :D
bertahun - tahun saya menjalani kehidupan sebagai minoritas, membuat saya sadar akan banyak hal. saya beruntung berada di lingkungan dimana mayoritasnya tidak bersikap arogan dan bisa hidup berdampingan. saya belajar banyak hal, terutama tentang they way of life-nya. bagaimana agama tak dipandang sebagai sesuatu yang ekslusif, melainkan seperti baju keseharian, menempel pada apapun yang dilakukan.
agama tak hanya dipandang sebagai satu garis vertikal antara manusia dengan pencipta, melainkan juga dengan alam semesta dan sesamanya. jika kita melukai tumbuhan, maka sesungguh kita sedang mencederai agama kita, atau lebih tepatnya..the way of life. agama juga tak digambarkan dengan cerita - cerita tentang surga, neraka, azab, dan hal-hal tak tersentuh, tapi disitu juga ada karma, sesuatu yang lebih mudah diterima logika. sederhananya, jika kamu melakukan hal yang buruk, melukai orang/sesuatu yg lain, maka kamu akan mendapat balasannya. begitu pula sebaliknya, agama diterjemahkan ke dalam segala yang kita lakukan.
sekian tahun saya menjalani kehidupan seperti itu, sehingga saya tak pernah memahami bagaimana bisa terjadi kekerasan atas nama agama? bagaimana suatu kebaikan tanpa mencederai yang lainnya bisa dikatakan sesat? bagaimana seseorang atau sekelompok manusia menodai ..the way of life-nya? bagaimana kita merasa berhak untuk mengadili keyakinan lainnya?w
dan karena twitter adalah ruang diskusi terbuka dimana semua orang bisa melihat apa yang diperbincangkan, -kecuali jika accountnya diprotect-, saya pun mau tak mau menyimak diskusi yang mulai memanas itu. sebenarnya bukan mau tak mau, tapi beberapa hal memang menarik buat saya, termasuk ketika orang memperdebatkan keyakinan. lucu saja ketika sebuah atau beberapa keyakinan diperdebatkan, karena itu toh percuma. namanya juga sebuah keyakinan, mana ada orang yang meyakini sesuatu yang dia anggap salah?
dan kembali ke diskusi di ranah twitter tadi, saya akhirnya mengetahui jika ternyata arti kata din bukanlah semata-mata agama, melainkan jalan hidup. the way of life. saya sendiri tidak tahu apakah itu mutlak benar, tapi menurut saya itu yang paling masuk akal.
saya dilahirkan dari keluarga yang bisa dibilang tidak relijius-religius sangat. Kedua orang tua saya memang sembahyang, tapi mereka tidak pernah mengukur sesuatu atau seseorang dengan takaran agama, dengan dosa atau pahala. bapak adalah seorang pensiunan angkatan laut, dan pakdhe saya dulu sempat menjadi buronan ketika pecah pemberontakan 30 Sept 65. orang tua saya membekali kami anak-anaknya dengan belajar mengaji, tapi kakak perempuan saya hingga kini penganut kristiani. bisa dibayangkan betapa berwarnanya keluarga saya bukan?
dan saya besar di lingkungan dimana Islam bukanlah mayoritas. saya masih ingat sekian kilometer yang harus ditempuh ketika hendak shalat teraweh. atau ketika suara kakak ipar saya melantunkan ayat-ayat quran, silih berganti dengan suara kidung dari pura desa yang berjarak sekian meter dari kontrakan tempat kami tinggal. sayapun pada akhirnya mulai terbiasa berkebaya, metirta, dan mebija jika ada piodalan di rumah tempat saya tinggal. bahkan tak jarang saya membantu ibu kost membuat canang, meracik bunga. yah, kalau sekedar bikin canang ceper, saya sudah mahir :D
bertahun - tahun saya menjalani kehidupan sebagai minoritas, membuat saya sadar akan banyak hal. saya beruntung berada di lingkungan dimana mayoritasnya tidak bersikap arogan dan bisa hidup berdampingan. saya belajar banyak hal, terutama tentang they way of life-nya. bagaimana agama tak dipandang sebagai sesuatu yang ekslusif, melainkan seperti baju keseharian, menempel pada apapun yang dilakukan.
agama tak hanya dipandang sebagai satu garis vertikal antara manusia dengan pencipta, melainkan juga dengan alam semesta dan sesamanya. jika kita melukai tumbuhan, maka sesungguh kita sedang mencederai agama kita, atau lebih tepatnya..the way of life. agama juga tak digambarkan dengan cerita - cerita tentang surga, neraka, azab, dan hal-hal tak tersentuh, tapi disitu juga ada karma, sesuatu yang lebih mudah diterima logika. sederhananya, jika kamu melakukan hal yang buruk, melukai orang/sesuatu yg lain, maka kamu akan mendapat balasannya. begitu pula sebaliknya, agama diterjemahkan ke dalam segala yang kita lakukan.
sekian tahun saya menjalani kehidupan seperti itu, sehingga saya tak pernah memahami bagaimana bisa terjadi kekerasan atas nama agama? bagaimana suatu kebaikan tanpa mencederai yang lainnya bisa dikatakan sesat? bagaimana seseorang atau sekelompok manusia menodai ..the way of life-nya? bagaimana kita merasa berhak untuk mengadili keyakinan lainnya?w
Thursday, April 14, 2011
kamu kerja apa, nduk?
Saya dilahirkan di kota kecil di daerah Jawa Timur, yang baru dijangkau listrik, -jika saya tak salah ingat-, pada saat saya ada di kelas 2 SD. Untuk daerah di Jawa, daerah saya bisa dibilang relatif tertinggal, padahal hanya berjarak 2 jam dari Surabaya, dan bukan berada di pelosok.
Tahun 2003, kala itu saya sudah tinggal di Denpasar dan sudah bekerja di sebuah biro perjalanan. Tidak seperti kantor yang libur pada musim liburan, bekerja di biro perjalanan yang mengurusi orang liburan justru kebalikannya, kami akan super sibuk jika liburan tiba. Naas jika hari raya, mau tak mau kami karyawannya harus rela diganggu dengan telepon yang berdering membicarakan pekerjaan. Dan pada tahun itu ketika saya mudik lebaran, belum ada signal telepon seluler di daerah saya. Bisa dibayangkan betapa tertinggalnya untuk daerah di Jawa bukan?
Itu baru gambaran kecil betapa lambannya kota kelahiran saya berkembang. Sudah hampir 14 tahun saya meninggalkan kota itu, berpindah dari Denpasar hingga Jakarta. dan saya merasakan kesenjangan teknologi yang sangat dengan kota kelahiran, terutama dengan keluarga dan orang tua yang memang tak pernah meninggalkan kota tersebut.
Sekian tahun dan saya berganti pekerjaan dari satu bidang ke bidang lainnya. Dari menjadi karyawan di sebuah biro perjalanan, menjadi seorang sekretaris di sebuah PMA, mengundurkan diri dan menjadi ibu rumah tangga, hingga akhirnya saya kembali bekerja di sebuah perusahaan yang berkonsentrasi pada social media.
Seperti umumnya orang tua, setiap kali saya berganti pekerjaan, ibu saya selalu bertanya, kerja apa kamu sekarang, nduk?
Dan hari itu ketika ibu telepon, saya kebingungan menjelaskan ke beliau tentang pekerjaan saya yang terakhir ini, yang baru saya jalani selama beberapa bulan. Ibu saya bukan orang yang paham komputer, apalagi internet. Jadi bagaimana saya bisa menjelaskan ke beliau tentang apa itu internet, social media, marketing dan sebagainya. Untuk mempermudah penjelasan, saya katakan saya kerja dari rumah memakai komputer, tidak harus pergi ke kantor setiap hari, bisa sambil mengasuh anak, saya hanya perlu koneksi internet ada di rumah, setor kerjaan melalui email, dsb dsb.
Untuk menutupi kebingungannya, ibu lalu bertanya, berapa orang yang kerja di kantor kamu? Saya bilang, kami kurang lebih 15 orang, kebanyakan wanita dan hampir sebagian besar menjalani peran ganda sebagai ibu dan juga pekerja. Lalu saya ceritakan ke ibu, bagaimana perempuan-perempuan hebat itu bekerja, dari mencari klien bisnis, mengolah data, jasa konsultasi, dan menjalankan semua pekerjaannya. Dari suara ibu di telepon, saya bisa menangkap rasa takjub sekaligus bingung, mungkin karena ibu mungkin tidak benar-benar paham apa yang saya katakan. Hingga di akhir pembicaraan hari itu, beliau bilang..wah, anak2 perempuan sekarang hebat-hebat ya, tidak terbayang kalau bisa bekerja seperti itu.
Sebenarnya ini adalah keheranan ibu yang kesekian akan kemajuan teknologi. Sebelumnya terjadi ketika saya memutuskan untuk mengasuh bayi lelaki saya tanpa bantuan orang tua maupun baby sitter. Berkali - kali ibu khawatir, kalau saya tidak bisa mengganti popok, tidak paham jadwal imunisasi, bagaimana menangani perut kembung pada bayi, kapan bayi boleh disuapi, dan hal-hal lainnya. Berkali-kali pula saya meyakinkan ibu, bahwa semua informasi tersebut sekarang mudah untuk didapat di internet. Dan memang begitulah, saya berhasil mengasuh anak lelaki saya hingga hari ini, dengan bantuan internet. Dari internet saya paham apa itu kolik, bagaimana menanggulanginya, belajar cara memerah ASI dan segala macam informasi tentang tumbuh kembang. Saya bergabung dengan beberapa milis dan forum yang berkaitan dengan keluarga dan buah hati. Jika informasi tak saya dapatkan dari forum, saya mulai googling dan...voila!! Tinggal menyortir mana informasi yang kiranya bisa dimanfaatkan.
Ibu dan saya adalah dua wanita yang lahir dari generasi yang berbeda. Dulu standard wanita sempurna pada jaman ibu adalah bisa mengurusi rumah tangga, suami dan anak-anaknya. Dan itu cukup. Saya bisa memahami jika ibu merasa takjub dan bangga dengan apa yang saya lakukan sekarang. Padahal, menurut saya sendiri, menjalani profesi ibu rumah tangga murni pun tidak mudah, bukan?
Kartini mungkin tidak pernah benar- benar menuntut kesamaan gender, karena bagaimanapun lelaki dan perempuan lahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saya dan perempuan yang lahir "masa kini" merasa lebih diuntungkan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, memudahkan kami untuk berkarya tanpa mengabaikan kewajiban kami sebagai seorang wanita.
Tanpa bekerja kantoran apalagi memahami internet, menurut saya ibu tetaplah Kartini pada masanya. Dan saya bersama wanita-wanita lainnya adalah Kartini pada masa kami.
Tahun 2003, kala itu saya sudah tinggal di Denpasar dan sudah bekerja di sebuah biro perjalanan. Tidak seperti kantor yang libur pada musim liburan, bekerja di biro perjalanan yang mengurusi orang liburan justru kebalikannya, kami akan super sibuk jika liburan tiba. Naas jika hari raya, mau tak mau kami karyawannya harus rela diganggu dengan telepon yang berdering membicarakan pekerjaan. Dan pada tahun itu ketika saya mudik lebaran, belum ada signal telepon seluler di daerah saya. Bisa dibayangkan betapa tertinggalnya untuk daerah di Jawa bukan?
Itu baru gambaran kecil betapa lambannya kota kelahiran saya berkembang. Sudah hampir 14 tahun saya meninggalkan kota itu, berpindah dari Denpasar hingga Jakarta. dan saya merasakan kesenjangan teknologi yang sangat dengan kota kelahiran, terutama dengan keluarga dan orang tua yang memang tak pernah meninggalkan kota tersebut.
Sekian tahun dan saya berganti pekerjaan dari satu bidang ke bidang lainnya. Dari menjadi karyawan di sebuah biro perjalanan, menjadi seorang sekretaris di sebuah PMA, mengundurkan diri dan menjadi ibu rumah tangga, hingga akhirnya saya kembali bekerja di sebuah perusahaan yang berkonsentrasi pada social media.
Seperti umumnya orang tua, setiap kali saya berganti pekerjaan, ibu saya selalu bertanya, kerja apa kamu sekarang, nduk?
Dan hari itu ketika ibu telepon, saya kebingungan menjelaskan ke beliau tentang pekerjaan saya yang terakhir ini, yang baru saya jalani selama beberapa bulan. Ibu saya bukan orang yang paham komputer, apalagi internet. Jadi bagaimana saya bisa menjelaskan ke beliau tentang apa itu internet, social media, marketing dan sebagainya. Untuk mempermudah penjelasan, saya katakan saya kerja dari rumah memakai komputer, tidak harus pergi ke kantor setiap hari, bisa sambil mengasuh anak, saya hanya perlu koneksi internet ada di rumah, setor kerjaan melalui email, dsb dsb.
Untuk menutupi kebingungannya, ibu lalu bertanya, berapa orang yang kerja di kantor kamu? Saya bilang, kami kurang lebih 15 orang, kebanyakan wanita dan hampir sebagian besar menjalani peran ganda sebagai ibu dan juga pekerja. Lalu saya ceritakan ke ibu, bagaimana perempuan-perempuan hebat itu bekerja, dari mencari klien bisnis, mengolah data, jasa konsultasi, dan menjalankan semua pekerjaannya. Dari suara ibu di telepon, saya bisa menangkap rasa takjub sekaligus bingung, mungkin karena ibu mungkin tidak benar-benar paham apa yang saya katakan. Hingga di akhir pembicaraan hari itu, beliau bilang..wah, anak2 perempuan sekarang hebat-hebat ya, tidak terbayang kalau bisa bekerja seperti itu.
Sebenarnya ini adalah keheranan ibu yang kesekian akan kemajuan teknologi. Sebelumnya terjadi ketika saya memutuskan untuk mengasuh bayi lelaki saya tanpa bantuan orang tua maupun baby sitter. Berkali - kali ibu khawatir, kalau saya tidak bisa mengganti popok, tidak paham jadwal imunisasi, bagaimana menangani perut kembung pada bayi, kapan bayi boleh disuapi, dan hal-hal lainnya. Berkali-kali pula saya meyakinkan ibu, bahwa semua informasi tersebut sekarang mudah untuk didapat di internet. Dan memang begitulah, saya berhasil mengasuh anak lelaki saya hingga hari ini, dengan bantuan internet. Dari internet saya paham apa itu kolik, bagaimana menanggulanginya, belajar cara memerah ASI dan segala macam informasi tentang tumbuh kembang. Saya bergabung dengan beberapa milis dan forum yang berkaitan dengan keluarga dan buah hati. Jika informasi tak saya dapatkan dari forum, saya mulai googling dan...voila!! Tinggal menyortir mana informasi yang kiranya bisa dimanfaatkan.
Ibu dan saya adalah dua wanita yang lahir dari generasi yang berbeda. Dulu standard wanita sempurna pada jaman ibu adalah bisa mengurusi rumah tangga, suami dan anak-anaknya. Dan itu cukup. Saya bisa memahami jika ibu merasa takjub dan bangga dengan apa yang saya lakukan sekarang. Padahal, menurut saya sendiri, menjalani profesi ibu rumah tangga murni pun tidak mudah, bukan?
Kartini mungkin tidak pernah benar- benar menuntut kesamaan gender, karena bagaimanapun lelaki dan perempuan lahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saya dan perempuan yang lahir "masa kini" merasa lebih diuntungkan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, memudahkan kami untuk berkarya tanpa mengabaikan kewajiban kami sebagai seorang wanita.
Tanpa bekerja kantoran apalagi memahami internet, menurut saya ibu tetaplah Kartini pada masanya. Dan saya bersama wanita-wanita lainnya adalah Kartini pada masa kami.
Wednesday, April 13, 2011
kurotidur
menurut orang tua suami, nama kurotidur dulunya adalah kwaotiduak. kwao adalah nama burung besar sejenis rangkong dalam bahasa lokal penduduk asli Bengkulu (suku rejang) . namun berhubung transmigrasi telah membawa ratusan keluarga dari Jawa ke daerah ini, maka lama kelamaan nama daerah tersebut berubah menjadi Kurotidur agar mempermudah pelafalannya.
Sebenarnya nama Kkrotidur tinggal nilai sejarah saja, karena daerah itu sendiri telah dibagi menjadi 2 kecamatan yakni Padang Jaya dan Giri Mulya. Tapi entah karena sudah bertahun-tahun menggunakan nama kurotidur, hingga sekarang orang mengenal kedua kecamatan tersebut berada di daerah kurotidur.
berjarak kurang lebih 70kilometer dari Kota Bengkulu, sekitar 3 jam perjalanan dari Bandara Fatmawati. Perjalanan yang panjang, mengingat medannya bukan jalan lurus seperti di Jawa, melainkan harus melewati beberapa bukit dengan keadaan jalan yang memprihatinkan. Maklum, jalan yang seharusnya hanya bisa menampung kendaraan2 kecil, dipaksa untuk menampun truk2 pengangkut sawit.
beberapa bulan saya menghabiskan waktu disana. seperti sebuah istirahat yang panjang dari hiruk pikuknya jakarta dan bali. jangan bayangkan sebuah kota kecil di pulau jawa, daerah ini jauh lebih kecil dari apa yang bisa dibayangkan. saya seperti terseret sekian tahun ke masa lalu.
tapi justru disinilah sisi kemanusiaan manusia masih bisa ditemukan. di tempat ini saya menemukan kehangatan meskipun jarak rumah orang tua dan tetangga paling dekat adalah 20 meter. disini juga saya masih bisa menemukan apa yang disebut sebagai semangat gotong royong. masih bisa menemukan banyak senyum setiap kali saya dan penduduk desa berpapasan, atau paling tidak anggukan kepala.
disini saya masih tergagap dan kadang seperti diingatkan, bahwa kebaikan tak selalu harus dihargai dengan sejumlah angka. beberapa kali saya harus merasa kikuk, dan malu, menyadari betapa dangkal cara saya berterimakasih.
sebuah tempat untuk membangkitkan kesadaran, bahwa manusia bagaimanapun memerlukan manusia lainnya...
Sebenarnya nama Kkrotidur tinggal nilai sejarah saja, karena daerah itu sendiri telah dibagi menjadi 2 kecamatan yakni Padang Jaya dan Giri Mulya. Tapi entah karena sudah bertahun-tahun menggunakan nama kurotidur, hingga sekarang orang mengenal kedua kecamatan tersebut berada di daerah kurotidur.
berjarak kurang lebih 70kilometer dari Kota Bengkulu, sekitar 3 jam perjalanan dari Bandara Fatmawati. Perjalanan yang panjang, mengingat medannya bukan jalan lurus seperti di Jawa, melainkan harus melewati beberapa bukit dengan keadaan jalan yang memprihatinkan. Maklum, jalan yang seharusnya hanya bisa menampung kendaraan2 kecil, dipaksa untuk menampun truk2 pengangkut sawit.
beberapa bulan saya menghabiskan waktu disana. seperti sebuah istirahat yang panjang dari hiruk pikuknya jakarta dan bali. jangan bayangkan sebuah kota kecil di pulau jawa, daerah ini jauh lebih kecil dari apa yang bisa dibayangkan. saya seperti terseret sekian tahun ke masa lalu.
tapi justru disinilah sisi kemanusiaan manusia masih bisa ditemukan. di tempat ini saya menemukan kehangatan meskipun jarak rumah orang tua dan tetangga paling dekat adalah 20 meter. disini juga saya masih bisa menemukan apa yang disebut sebagai semangat gotong royong. masih bisa menemukan banyak senyum setiap kali saya dan penduduk desa berpapasan, atau paling tidak anggukan kepala.
disini saya masih tergagap dan kadang seperti diingatkan, bahwa kebaikan tak selalu harus dihargai dengan sejumlah angka. beberapa kali saya harus merasa kikuk, dan malu, menyadari betapa dangkal cara saya berterimakasih.
sebuah tempat untuk membangkitkan kesadaran, bahwa manusia bagaimanapun memerlukan manusia lainnya...
Tuesday, April 12, 2011
kesempatan
kesempatan hanya datang pada mereka yang menyambutnya.
begitulah tweet yang saya ketikkan pagi itu. saya berharap dengan memantrai diri sendiri, saya bisa membuat hari senin menjadi optimis. dan kalimat itu terus berputar - putar dalam kepala saya, mengesampingkan segala kegelisahan dan grogi.
ya, terus terang saya sedang grogi. siang itu saya ada janji dengan seorang teman untuk membantu pekerjaannya, dan mau tak mau saya juga harus berurusan dengan bossnya. setahun lebih menjadi pengangguran, tak pelak membuat rasa percaya diri saya jauh menurun. drop! saya merasa seperti manusia goa yang sesekali mengintip dunia luar lewat jendela. *eh, goa tak berjendela ya? :D
tapi memang seperti itu, banyak yang harus saya kejar. ketertinggalan karena dunia memang terus berputar, tanpa saya. atau sayapun sibuk dengan putaran dunia saya. dan sekarang, kali kesekian saya harus bertemu dengan orang lain untuk membantu pekerjaan mereka, sayapun masih bisa merasakan grogi yang sama.
sebenarnya keadaan ini tidak lebih buruk, bahkan bisa saya bilang jauh lebih baik dari sebelumnya, ketika saya hanya bisa melihat dari jendela orang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing.
saya masih bisa mengingat jelas, betapa saya sangat membenci kota ini. kemacetannya,polusinya, orang2nya. banyak hal yang saya tak suka, dan tulisan-tulisan sebelumnya sepertinya cukup menggambarkan itu semua. pikiran-pikiran yang membuat saya sibuk dan tak sempat melihat hal lainnya.
pertama kali saya tersadar bahwa saya harus menerima kota ini adalah ketika seorang teman melakukan perjalanannya, dan saya menganggap kedatangan saya disinipun adalah perjalanan saya.
dan tak lama setelah itu, setelah saya membuka diri, kesempatan menghampiri saya.berawal dari seorang teman, hingga ke teman lainnya. datang silih berganti hingga saya mulai berfikir untuk mempertimbangkan kemampuan dan jam terbang *halah*
mungkin memang kesempatan hanya datang pada mereka yang menyambutnya dengan suka cita. yang membebaskan pikiran dan melepaskan apa yang menyesak di genggaman, untuk menerima yang berikutnya.
Friday, April 08, 2011
sepanjang sudirman - mampang prapatan
ketika menulis ini, energi saya mungkin hanya tinggal seperempat saja. jarum jam berhenti di angka sepuluh dan lima, dan saya masih terjaga. selain karena beberapa hal harus diselesaikan malam ini, juga karena saya menunggu lelaki yang masih berkutat dengan pekerjaannya.
hari yang melelahkan, sekaligus menyenangkan tentunya. dari acara demo masak di sebuah mall yang diadakan sebuah embassy di jakarta, hingga sore yang begitu istimewa. dari gelas camomile tea, hingga sepotong pears pizza malam ini. dari tawa renyah perempuan-perempuan hebat yang saya temui siang tadi, hingga kesunyian seperti sekarang ini.
dan yang begitu melekat dalam ingatan, dari ketika saya pada perjalanan pulang di mobil seorang teman, hingga saya harus berjubel diantara puluhan orang di transjakarta. betapa mudah hidup terbalik-balikkan, betapa sesuatu cepat berganti, penuh dengan ketidakpastian.
terkadang saya ingin membekukan waktu ketika hal baik sedang berada di pihak saya, tapi ah..beberapa hal kita tak punya kuasa akannya bukan? yang bisa dilakukan hanya berjalan, mensyukuri semua kebaikan
dan salah satu kebaikan hari ini adalah pembicaraan yang panjang dengan seorang teman, pembicaraan hangat. menyadarkan bahwa kita tak pernah sendirian dalam keadaan apapun. jika sesuatu buruk sedang terjadi, orang lainpun mengalaminya, bahkan mungkin lebih buruk. mengasihani diri sendiri tak memperbaiki keadaan.
deal with it.
itu yang selalu saya bilang ke seorang teman. kata - kata yang mudah diucapkan tapi sangat sulit dilakukan. berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan hati.
terima kasih untuk pembicaraan sore, kehangatan yang tulus, dan pelukan erat sesaat setelah kita berjabat.
hari yang melelahkan, sekaligus menyenangkan tentunya. dari acara demo masak di sebuah mall yang diadakan sebuah embassy di jakarta, hingga sore yang begitu istimewa. dari gelas camomile tea, hingga sepotong pears pizza malam ini. dari tawa renyah perempuan-perempuan hebat yang saya temui siang tadi, hingga kesunyian seperti sekarang ini.
dan yang begitu melekat dalam ingatan, dari ketika saya pada perjalanan pulang di mobil seorang teman, hingga saya harus berjubel diantara puluhan orang di transjakarta. betapa mudah hidup terbalik-balikkan, betapa sesuatu cepat berganti, penuh dengan ketidakpastian.
terkadang saya ingin membekukan waktu ketika hal baik sedang berada di pihak saya, tapi ah..beberapa hal kita tak punya kuasa akannya bukan? yang bisa dilakukan hanya berjalan, mensyukuri semua kebaikan
dan salah satu kebaikan hari ini adalah pembicaraan yang panjang dengan seorang teman, pembicaraan hangat. menyadarkan bahwa kita tak pernah sendirian dalam keadaan apapun. jika sesuatu buruk sedang terjadi, orang lainpun mengalaminya, bahkan mungkin lebih buruk. mengasihani diri sendiri tak memperbaiki keadaan.
deal with it.
itu yang selalu saya bilang ke seorang teman. kata - kata yang mudah diucapkan tapi sangat sulit dilakukan. berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan hati.
terima kasih untuk pembicaraan sore, kehangatan yang tulus, dan pelukan erat sesaat setelah kita berjabat.
Thursday, April 07, 2011
ode untuk sepi
: untuk hujan yang tak mau pulang
kali ini aku menggigil,
kulafalkan namamu di rintik tak berjeda
sepi seperti sembilu, sayangku
menusuk tepat dimana ada namamu disitu
semua bergetar
seperti resonansi waktu
memantul-mantul tak tau kemana menuju
hatimu, atau pada musim yang hendak berlalu
seandainya bisa kubekukan romansa
mungkin di kota ini tak hanya ada aku
tak hujan yang terus menunggu
tidak rindu
, tapi kamu.
kali ini aku menggigil,
kulafalkan namamu di rintik tak berjeda
sepi seperti sembilu, sayangku
menusuk tepat dimana ada namamu disitu
semua bergetar
seperti resonansi waktu
memantul-mantul tak tau kemana menuju
hatimu, atau pada musim yang hendak berlalu
seandainya bisa kubekukan romansa
mungkin di kota ini tak hanya ada aku
tak hujan yang terus menunggu
tidak rindu
, tapi kamu.
Wednesday, April 06, 2011
perangkap 140 karakter
Cepat, waktu seperti asap.. ga pernah terasa sudah berapa lama kita berkubang tiap hari nya, berapa banyak airmata dan tawa yang kita hasilkan.. atau berapa sering kita menyakiti atau membuat orang bahagia..
itu adalah penggalan dari postingan pertama saya di blog. satu desember dua ribu empat. selama itulah saya menulis, meski diantaranya ada jeda, ada hiatus yang lama, ada pemberhentian, dan seringkali juga ada putus asa. tak jarang saya merasa begitu lelah berfikir, lelah untuk menulis, mengabadikan kejadian. saya tak punya kata-kata, saya tak lagi bisa menangkap cerita yang bertebaran di sekeliling saya.
saya hanya menjadi penikmat sesaat, lalu melupakan semuanya begitu saja.
saya mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan, terlalu sibuk dengan patah hati, terlalu sibuk dengan lingkungan baru, dengan keluarga baru. terlalu sibuk dengan apapun itu. tapi pada akhirnya, saya menulis lagi. lagi. dan lagi.
lebih dari enam tahun. dan selama itu saya belajar banyak hal setiap harinya. dari satu tulisan ke tulisan lainnya. dari sekedar luapan kepala sampai dengan bagaimana menuliskannya. dari hanya sekedar mengeluh dan mencaci maki, hingga belajar mengemasnya hingga membuat lebih enak di hati. karena menulis adalah self theraphy, pesan disampaikan untuk dimengerti, sekarang dan jika dibaca lagi nanti.
dan enam tahun itu buat saya adalah proses yang panjang. karena setiap hari apapun bisa terjadi, saya berjalan dengan perkembangan tulisan itu sendiri. hanya saja, seperti yang saya bilang tadi, ada kalanya saya berhenti untuk sebuah jeda. dan terakhir saya melakukannya, tulisan berjalan sendirian tanpa saya.
trend berubah, blog tak lagi terjamah. manusia sibuk mengemas kata hanya dengan seratus empat puluh karakter saja. mungkin awalnya hanya sekedar memindahkan percakapan ke ruang yang lebih terbuka, tapi ternyata itu tak lagi sederhana. informasi, suasana hati, privasi jadi kabur disana. semua bertebaran dengan mudahnya dan dengan sangat singkatnya. dan ternyata itupun berpengaruh pada cara berfikir manusia, saya terutama.
deretan linimasa, terkadang membuat saya berfikir secepat saya bisa menggerakkan scroll bar. saya (sepertinya) memahami, bahkan sebelum saya mengerti. semua serba cepat, dan tak jarang hal-hal yang krusial terlewat. informasi datang silih berganti, dengan cepat menjadi gegap, dan tak lama kemudian hilang tak sempat hinggap. begitu mudahnya mempermainkan emosi, dan membuat sesuatu menjadi basi.
terus terang, saya menjadi gagap. secepat itukah sekarang manusia berinteraksi, menjalin komunikasi, menangkap informasi? tiba-tiba saya merindukan blog, saya rindu bernarasi...
Tuesday, April 05, 2011
pilihan bahagia
"gorengan, kak. gorengannya masih panas.."
dilihatnya seorang anak laki-laki dengan wajah ceria menawarkan gorengan padanya. bukan wajah yang asing, sekian bulan lalu dia juga pernah melihat wajah yang sama, masih dengan senyum yang sama, dan di tempat yang sama. ehm, sebenarnya bukan tempat yang benar-benar sama, tapi bisa dibilang masih disitu-situ juga. jika dulu anak laki-laki itu menawarinya gorengan tepat di pintu sebuah mall di kawasan pejaten, kali ini di halte busway di dekat mall tersebut.
seperti sebelumnya, hari inipun dia menolak. selain karena dia bergegas ingin bertemu temannya, dia juga sedang batuk dan hampir kehilangan suara. meskipun begitu, tak membuat anak lelaki itukehilangan senyumannya. dia tetap menawarkan sekotak gorengan pada orang-orang lain, masih dengan senyum di wajahnya.
dan di sebuah kedai kopi itu dia menemukan seorang wanita sedang duduk sendirian. sungguh, dia sangat merindunya. sangat banyak cerita yang ingin dikisahkan, sangat banyak keingintahuan yang hendak ditanyakan. lebih dari dua bulan sejak terakhir bertemu, dua bulan yang penuh dengan kejadian.
segelas coffee latte, dan segelas cappuchino. tentang bali, tentang pekerjaan baru, tentang rasa bersalah, tentang rencana untuk menikah, tentang sebuah perjalanan.
yadnya, karma, norma. betapa manusia tak bisa lepas dari nasib, mengalami serangkaian pelajaran untuk menuju fase selanjutnya. memang ada pilihan untuk lari, tapi tak ada pelajaran yang lebih indah dari mengalami sendiri.
tak pernah mudah untuk menyatukan dua kepala dan hati, apalagi dua keluarga dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda. lagilagi, semuanya adalah fase, semua adalah pembelajaran. dan tak jarang ada kesedihan. tapi ingatannya kembali pada anak lelaki yang dia temui di tangga tadi.
bahagia adalah sebuah pilihan, bukan?
dilihatnya seorang anak laki-laki dengan wajah ceria menawarkan gorengan padanya. bukan wajah yang asing, sekian bulan lalu dia juga pernah melihat wajah yang sama, masih dengan senyum yang sama, dan di tempat yang sama. ehm, sebenarnya bukan tempat yang benar-benar sama, tapi bisa dibilang masih disitu-situ juga. jika dulu anak laki-laki itu menawarinya gorengan tepat di pintu sebuah mall di kawasan pejaten, kali ini di halte busway di dekat mall tersebut.
seperti sebelumnya, hari inipun dia menolak. selain karena dia bergegas ingin bertemu temannya, dia juga sedang batuk dan hampir kehilangan suara. meskipun begitu, tak membuat anak lelaki itukehilangan senyumannya. dia tetap menawarkan sekotak gorengan pada orang-orang lain, masih dengan senyum di wajahnya.
dan di sebuah kedai kopi itu dia menemukan seorang wanita sedang duduk sendirian. sungguh, dia sangat merindunya. sangat banyak cerita yang ingin dikisahkan, sangat banyak keingintahuan yang hendak ditanyakan. lebih dari dua bulan sejak terakhir bertemu, dua bulan yang penuh dengan kejadian.
segelas coffee latte, dan segelas cappuchino. tentang bali, tentang pekerjaan baru, tentang rasa bersalah, tentang rencana untuk menikah, tentang sebuah perjalanan.
yadnya, karma, norma. betapa manusia tak bisa lepas dari nasib, mengalami serangkaian pelajaran untuk menuju fase selanjutnya. memang ada pilihan untuk lari, tapi tak ada pelajaran yang lebih indah dari mengalami sendiri.
tak pernah mudah untuk menyatukan dua kepala dan hati, apalagi dua keluarga dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda. lagilagi, semuanya adalah fase, semua adalah pembelajaran. dan tak jarang ada kesedihan. tapi ingatannya kembali pada anak lelaki yang dia temui di tangga tadi.
bahagia adalah sebuah pilihan, bukan?
Monday, April 04, 2011
crazy little thing called love
"All of us have someone hidden in the bottom of our hearts."
ada desir lembut, perih yang manis dan pusaran mesin waktu yang terobrak-abrik selama 118 menit di depan layar televisi 21 inchis yang menyala. kenangan seperti terpapar di depan mata, setiap adegan adalah slide masa lalu, yang dulu terasa begitu menyakitkan. dihadirkan pada malam ketika dia sendirian, sedangkan kedua lelaki sudah pulas tertidur dalam pelukan.
rona merah di pipi, seperti rona pada pipinya. malu-malu ketika melihat lelaki yang disukai, seperti dulu dia mengalaminya. surat cinta, sebuah janji di koridor kelas setelah jam pelajaran usai. hal-hal seperti itu menggelitik perasaannya.
tangkai-tangkai mawar, surat cinta, binar pada sepasang mata, senyum mengembang ketika melihat lelaki yang disukai melintas di depannya. malu-malu. lalu ada perasaan hangat mengalir begitu saja. betapa manisnya adegan ini.
kenangan disajikan tepat di depan mata. sekian tahun dari sekarang. sebelum banyak luka, patah hati, kesedihan dan air mata. sebelum ada penghianatan, sebelum ada banyak kekecewaan. ketika bergandengan tanganpun menjadi begitu istimewa. tak perlu pelukan dan rayuan untuk membuatnya merona.
rindu.
ada rindu untuk hati yang belum pernah mengalami sembilu. ada rindu pada kenaifan, ada rindu pada hal-hal kecil yang mampu membuatnya tertawa manja. pada pikiran yang tak menuntut banyak jawaban, pada saat sebelum cinta menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan.
ada rindu untuk perasaan yang lebih sederhana..
tiba-tiba, sebuah pelukan menyadarkan. seperti sebuah kupu-kupu, kedewasaan pun adalah metamorfosa. waktu tak bisa ditarik mundur, hanya bisa dihadirkan lewat ingatan yang tak lagi utuh. masa lalu menjadi indah, karena memang itulah yang ingin disimpan, membuang yang lainnya.
dikecupnya lelaki yang tidur pulas kelelahan. diucapkannya lembut kata-kata yang sering diabaikan karena kesibukan,
...cinta.
ada desir lembut, perih yang manis dan pusaran mesin waktu yang terobrak-abrik selama 118 menit di depan layar televisi 21 inchis yang menyala. kenangan seperti terpapar di depan mata, setiap adegan adalah slide masa lalu, yang dulu terasa begitu menyakitkan. dihadirkan pada malam ketika dia sendirian, sedangkan kedua lelaki sudah pulas tertidur dalam pelukan.
rona merah di pipi, seperti rona pada pipinya. malu-malu ketika melihat lelaki yang disukai, seperti dulu dia mengalaminya. surat cinta, sebuah janji di koridor kelas setelah jam pelajaran usai. hal-hal seperti itu menggelitik perasaannya.
tangkai-tangkai mawar, surat cinta, binar pada sepasang mata, senyum mengembang ketika melihat lelaki yang disukai melintas di depannya. malu-malu. lalu ada perasaan hangat mengalir begitu saja. betapa manisnya adegan ini.
kenangan disajikan tepat di depan mata. sekian tahun dari sekarang. sebelum banyak luka, patah hati, kesedihan dan air mata. sebelum ada penghianatan, sebelum ada banyak kekecewaan. ketika bergandengan tanganpun menjadi begitu istimewa. tak perlu pelukan dan rayuan untuk membuatnya merona.
rindu.
ada rindu untuk hati yang belum pernah mengalami sembilu. ada rindu pada kenaifan, ada rindu pada hal-hal kecil yang mampu membuatnya tertawa manja. pada pikiran yang tak menuntut banyak jawaban, pada saat sebelum cinta menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan.
ada rindu untuk perasaan yang lebih sederhana..
tiba-tiba, sebuah pelukan menyadarkan. seperti sebuah kupu-kupu, kedewasaan pun adalah metamorfosa. waktu tak bisa ditarik mundur, hanya bisa dihadirkan lewat ingatan yang tak lagi utuh. masa lalu menjadi indah, karena memang itulah yang ingin disimpan, membuang yang lainnya.
dikecupnya lelaki yang tidur pulas kelelahan. diucapkannya lembut kata-kata yang sering diabaikan karena kesibukan,
...cinta.
Friday, April 01, 2011
mimpi
dulu, saya adalah seorang day-dreamer. tidak hanya waktu malam, bahkan saat terjagapun saya bermimpi.
agak susah memisahkan antara mimpi dan khayalan, kecuali dari waktu ketika kita mengalaminya. mimpi ketika kita terjaga, menurut saya itu adalah khayalan. dan itu membahayakan. seringkali saya menginginkan sesuatu atau menjadi sesuatu, tapi hanya sebatas itu. Usaha paling jauh yang pernah saya lakukan adalah menuliskannya di dream-book, tidak lebih. oya, juga beberapa blog yang awal muasalnya ingin untuk menulis novel, cerpen, pusi dan lain-lainnya, tapi terhenti begitu saja :D
seiring dengan waktu, saya semakin tidak pernah peduli dengan mimpi. tak ubahnya bunga tidur, semua hilang begitu saya terbangun. bahkan sekarang, saya tak lagi ingat mimpi apa semalam. yang menyebalkan, hampir setiap malam saya bermimpi, dan karena tidak ingin mengingatnya, secara otomatis saya memang tak mengingatnya. yang tersisa adalah perasaan senang, sedih, mood yang berantakan ketika terbangun. ternyata itupun tidak lebih baik.
sekarang, mimpi buat saya adalah keinginan sekian waktu ke depan. tak lagi muluk2 mau jadi apa lima atau sepuluh tahun lagi. ingin keliling eropa dan menetap disana. mimpi buat saya adalah apa yang saya akan lakukan minggu depan, bagaimana saya bisa memasak, mencuci baju dan menyelesaikan pekerjaan. korden warna apa yang kelak akan saya gunakan untuk rumah baru yang selesai akhir tahun, dan apa yang saya persiapkan untuk pendidikan anak lanang.hal-hal semacam itulah.
tak lagi ada obsesi dan ambisi. membiarkan semua berjalan apa adanya. saya lebih menikmati saat ini, tak tergesa untuk sampai ke "sana". Suami seringkali bilang, semua akan ada waktunya. dan dengan apa yang terjadi, saya setuju dengan pendapatnya itu.
prioritas hidup telah berubah, saya menjadi lebih realistis. beberapa hal sederhana menjadi begitu penting. dan lainnya tak lebih dari bunga untuk membuat hidup lebih berwarna :)
agak susah memisahkan antara mimpi dan khayalan, kecuali dari waktu ketika kita mengalaminya. mimpi ketika kita terjaga, menurut saya itu adalah khayalan. dan itu membahayakan. seringkali saya menginginkan sesuatu atau menjadi sesuatu, tapi hanya sebatas itu. Usaha paling jauh yang pernah saya lakukan adalah menuliskannya di dream-book, tidak lebih. oya, juga beberapa blog yang awal muasalnya ingin untuk menulis novel, cerpen, pusi dan lain-lainnya, tapi terhenti begitu saja :D
seiring dengan waktu, saya semakin tidak pernah peduli dengan mimpi. tak ubahnya bunga tidur, semua hilang begitu saya terbangun. bahkan sekarang, saya tak lagi ingat mimpi apa semalam. yang menyebalkan, hampir setiap malam saya bermimpi, dan karena tidak ingin mengingatnya, secara otomatis saya memang tak mengingatnya. yang tersisa adalah perasaan senang, sedih, mood yang berantakan ketika terbangun. ternyata itupun tidak lebih baik.
sekarang, mimpi buat saya adalah keinginan sekian waktu ke depan. tak lagi muluk2 mau jadi apa lima atau sepuluh tahun lagi. ingin keliling eropa dan menetap disana. mimpi buat saya adalah apa yang saya akan lakukan minggu depan, bagaimana saya bisa memasak, mencuci baju dan menyelesaikan pekerjaan. korden warna apa yang kelak akan saya gunakan untuk rumah baru yang selesai akhir tahun, dan apa yang saya persiapkan untuk pendidikan anak lanang.hal-hal semacam itulah.
tak lagi ada obsesi dan ambisi. membiarkan semua berjalan apa adanya. saya lebih menikmati saat ini, tak tergesa untuk sampai ke "sana". Suami seringkali bilang, semua akan ada waktunya. dan dengan apa yang terjadi, saya setuju dengan pendapatnya itu.
prioritas hidup telah berubah, saya menjadi lebih realistis. beberapa hal sederhana menjadi begitu penting. dan lainnya tak lebih dari bunga untuk membuat hidup lebih berwarna :)
Subscribe to:
Posts (Atom)