Saya dilahirkan di kota kecil di daerah Jawa Timur, yang baru dijangkau listrik, -jika saya tak salah ingat-, pada saat saya ada di kelas 2 SD. Untuk daerah di Jawa, daerah saya bisa dibilang relatif tertinggal, padahal hanya berjarak 2 jam dari Surabaya, dan bukan berada di pelosok.
Tahun 2003, kala itu saya sudah tinggal di Denpasar dan sudah bekerja di sebuah biro perjalanan. Tidak seperti kantor yang libur pada musim liburan, bekerja di biro perjalanan yang mengurusi orang liburan justru kebalikannya, kami akan super sibuk jika liburan tiba. Naas jika hari raya, mau tak mau kami karyawannya harus rela diganggu dengan telepon yang berdering membicarakan pekerjaan. Dan pada tahun itu ketika saya mudik lebaran, belum ada signal telepon seluler di daerah saya. Bisa dibayangkan betapa tertinggalnya untuk daerah di Jawa bukan?
Itu baru gambaran kecil betapa lambannya kota kelahiran saya berkembang. Sudah hampir 14 tahun saya meninggalkan kota itu, berpindah dari Denpasar hingga Jakarta. dan saya merasakan kesenjangan teknologi yang sangat dengan kota kelahiran, terutama dengan keluarga dan orang tua yang memang tak pernah meninggalkan kota tersebut.
Sekian tahun dan saya berganti pekerjaan dari satu bidang ke bidang lainnya. Dari menjadi karyawan di sebuah biro perjalanan, menjadi seorang sekretaris di sebuah PMA, mengundurkan diri dan menjadi ibu rumah tangga, hingga akhirnya saya kembali bekerja di sebuah perusahaan yang berkonsentrasi pada social media.
Seperti umumnya orang tua, setiap kali saya berganti pekerjaan, ibu saya selalu bertanya, kerja apa kamu sekarang, nduk?
Dan hari itu ketika ibu telepon, saya kebingungan menjelaskan ke beliau tentang pekerjaan saya yang terakhir ini, yang baru saya jalani selama beberapa bulan. Ibu saya bukan orang yang paham komputer, apalagi internet. Jadi bagaimana saya bisa menjelaskan ke beliau tentang apa itu internet, social media, marketing dan sebagainya. Untuk mempermudah penjelasan, saya katakan saya kerja dari rumah memakai komputer, tidak harus pergi ke kantor setiap hari, bisa sambil mengasuh anak, saya hanya perlu koneksi internet ada di rumah, setor kerjaan melalui email, dsb dsb.
Untuk menutupi kebingungannya, ibu lalu bertanya, berapa orang yang kerja di kantor kamu? Saya bilang, kami kurang lebih 15 orang, kebanyakan wanita dan hampir sebagian besar menjalani peran ganda sebagai ibu dan juga pekerja. Lalu saya ceritakan ke ibu, bagaimana perempuan-perempuan hebat itu bekerja, dari mencari klien bisnis, mengolah data, jasa konsultasi, dan menjalankan semua pekerjaannya. Dari suara ibu di telepon, saya bisa menangkap rasa takjub sekaligus bingung, mungkin karena ibu mungkin tidak benar-benar paham apa yang saya katakan. Hingga di akhir pembicaraan hari itu, beliau bilang..wah, anak2 perempuan sekarang hebat-hebat ya, tidak terbayang kalau bisa bekerja seperti itu.
Sebenarnya ini adalah keheranan ibu yang kesekian akan kemajuan teknologi. Sebelumnya terjadi ketika saya memutuskan untuk mengasuh bayi lelaki saya tanpa bantuan orang tua maupun baby sitter. Berkali - kali ibu khawatir, kalau saya tidak bisa mengganti popok, tidak paham jadwal imunisasi, bagaimana menangani perut kembung pada bayi, kapan bayi boleh disuapi, dan hal-hal lainnya. Berkali-kali pula saya meyakinkan ibu, bahwa semua informasi tersebut sekarang mudah untuk didapat di internet. Dan memang begitulah, saya berhasil mengasuh anak lelaki saya hingga hari ini, dengan bantuan internet. Dari internet saya paham apa itu kolik, bagaimana menanggulanginya, belajar cara memerah ASI dan segala macam informasi tentang tumbuh kembang. Saya bergabung dengan beberapa milis dan forum yang berkaitan dengan keluarga dan buah hati. Jika informasi tak saya dapatkan dari forum, saya mulai googling dan...voila!! Tinggal menyortir mana informasi yang kiranya bisa dimanfaatkan.
Ibu dan saya adalah dua wanita yang lahir dari generasi yang berbeda. Dulu standard wanita sempurna pada jaman ibu adalah bisa mengurusi rumah tangga, suami dan anak-anaknya. Dan itu cukup. Saya bisa memahami jika ibu merasa takjub dan bangga dengan apa yang saya lakukan sekarang. Padahal, menurut saya sendiri, menjalani profesi ibu rumah tangga murni pun tidak mudah, bukan?
Kartini mungkin tidak pernah benar- benar menuntut kesamaan gender, karena bagaimanapun lelaki dan perempuan lahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Saya dan perempuan yang lahir "masa kini" merasa lebih diuntungkan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, memudahkan kami untuk berkarya tanpa mengabaikan kewajiban kami sebagai seorang wanita.
Tanpa bekerja kantoran apalagi memahami internet, menurut saya ibu tetaplah Kartini pada masanya. Dan saya bersama wanita-wanita lainnya adalah Kartini pada masa kami.
No comments:
Post a Comment